Fenomena unik melingkupi merek motor Suzuki. Di satu sisi, keawetan motornya menjadi legenda di kalangan pengguna. Di sisi lain, jumlah dealer resminya justru mengalami penyusutan signifikan. Apakah kedua hal ini saling berkaitan?

Lelucon soal "motor Suzuki terlalu awet, dealer pada tutup" memang kerap berseliweran di media sosial. Jumlah dealer Suzuki yang lebih sedikit dibandingkan kompetitornya, secara kasat mata, memperkuat kesan ini.

Victor Assani, 2W dan OBM Service Head PT Suzuki Indomobil Sales (SIS), mengakui adanya penurunan jumlah dealer. Dari yang semula sekitar 300 titik, kini hanya tersisa 150-an. Ia menjelaskan bahwa penurunan ini tak lepas dari imbas penurunan penjualan.

"Sebab turunnya sangat mungkin terimbas dari penurunan penjualan," ujarnya. Namun, Victor menekankan bahwa layanan purna jual Suzuki masih tetap berjalan dengan baik dan menghasilkan profit.

Keawetan motor Suzuki sendiri memang bukan isapan jempol belaka. Viral di TikTok sebuah video yang memperlihatkan komponen CVT motor Suzuki Nex generasi pertama yang masih dalam kondisi prima setelah 12 tahun pemakaian. Seal yang baru jebol setelah belasan tahun menjadi bukti konkret kualitas suku cadang Suzuki.

Menanggapi fenomena ini, Suzuki memberikan tanggapan yang bijak. Mereka mengakui bahwa lelucon tersebut muncul karena kualitas suku cadang yang memang terbukti. Namun, mereka juga menegaskan bahwa penurunan jumlah bengkel bukan semata-mata disebabkan oleh keawetan produk.

"Kita bersyukur bahwa kualitas spare part maupun kualitas motor kita, ini wujud pengakuan. Jadi kalau dibilang gara-gara itu, saya pikir tidak sepenuhnya benar, tapi kalau kualitas sepeda motor Suzuki, termasuk spare part Suzuki luar biasa, itu banyak benarnya," kata Victor.

Lantas, bagaimana seharusnya kita memaknai fenomena ini?

Keawetan motor Suzuki bisa jadi pedang bermata dua. Di satu sisi, konsumen diuntungkan karena memiliki motor yang tahan lama dan minim perawatan. Di sisi lain, efek domino bisa terjadi pada jaringan penjualan dan layanan purna jual jika penjualan unit baru terus menurun.

Suzuki perlu beradaptasi dengan kondisi pasar yang berubah. Fokus pada inovasi produk, strategi pemasaran yang lebih agresif, dan pengembangan jaringan layanan yang lebih efisien bisa menjadi kunci untuk menjaga eksistensi merek Suzuki di Indonesia.

Konsumen pun memiliki peran penting. Dengan terus mendukung produk Suzuki, baik melalui pembelian unit baru maupun memanfaatkan layanan purna jual yang tersedia, kita turut berkontribusi pada kelangsungan hidup merek legendaris ini.

Keawetan memang menjadi nilai jual utama Suzuki. Namun, untuk tetap relevan di tengah persaingan yang ketat, Suzuki perlu menyeimbangkan antara kualitas produk dengan inovasi dan strategi bisnis yang adaptif. Akankah Suzuki mampu menjawab tantangan ini? Waktu yang akan menjawab.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini