Jakarta – Di tengah hiruk pikuk kemacetan Jakarta, pemandangan seorang pejabat publik memilih transportasi umum menjadi angin segar. Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu’ti, baru-baru ini tertangkap kamera menaiki MRT, tanpa pengawalan khusus. Momen ini memicu perdebatan: apakah ini sekadar pencitraan, atau langkah nyata menuju solusi kemacetan ibukota?
Abdul Mu’ti sendiri bukanlah orang baru dalam urusan transportasi umum. Ia dikenal kerap menggunakan angkutan umum sejak lama, bahkan sebelum MRT beroperasi. "Saya sudah biasa naik angkutan umum. Mungkin petugasnya sampai kenal saya," ujarnya, dikutip dari laman resmi Kemendikbud.
Namun, kehadiran pejabat di transportasi umum memiliki makna lebih dalam. Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) sejak lama mendorong pejabat publik untuk beralih ke transportasi massal. Alasannya sederhana: mengurangi kemacetan dan memberikan contoh kepada masyarakat.
Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah MTI, Djoko Setijowarno, menyoroti dampak konvoi pejabat terhadap kemacetan Jakarta. "Setiap hari lebih dari 100-an kendaraan harus dikawal polisi menuju tempat beraktivitas. Jalan-jalan di Jakarta akan semakin macet dan membikin pengguna jalan menjadi stress dengan bunyi-bunyian sirene kendaraan patwal," jelasnya.
Djoko menambahkan, Jakarta telah memiliki beragam pilihan transportasi umum yang saling terhubung, mulai dari ojek, bajaj, mikrolet, bus, KRL, LRT, hingga MRT. Dengan infrastruktur yang semakin memadai, seharusnya pejabat publik dapat memanfaatkan fasilitas ini.
Langkah Abdul Mu’ti ini sejalan dengan tren di negara-negara maju. Di Swedia, misalnya, para petinggi negara terbiasa menggunakan transportasi massal dalam kegiatan sehari-hari. Kebijakan ini tidak hanya efektif mengurangi kemacetan, tetapi juga mencerminkan kesetaraan dan kepedulian terhadap lingkungan.
Tentu saja, ada tantangan yang perlu diatasi. Keamanan dan kenyamanan transportasi umum masih menjadi isu krusial. Pemerintah perlu terus berinvestasi dalam peningkatan kualitas layanan, keamanan, dan integrasi antar moda transportasi.
Pertanyaannya sekarang, apakah langkah Abdul Mu’ti akan diikuti oleh pejabat publik lainnya? Apakah ini akan menjadi gerakan masif yang mampu mengubah wajah transportasi Jakarta? Atau hanya sekadar simbol tanpa dampak signifikan? Waktu yang akan menjawab. Namun, satu hal pasti, inisiatif ini membuka ruang diskusi penting tentang bagaimana kita memandang dan menggunakan transportasi di ibukota.