Jakarta – Karier Elon Musk di dunia bisnis, khususnya Tesla, nampaknya sedang diterpa badai kencang. Keputusannya untuk terjun ke politik dengan bergabung dalam pemerintahan Donald Trump sebagai kepala Departemen Efisiensi Pemerintahan (DOGE) berbuah pahit. Penjualan mobil listrik Tesla di berbagai belahan dunia, mulai dari China hingga Eropa dan Australia, mengalami penurunan signifikan.
China, yang selama ini menjadi pasar andalan Tesla, menunjukkan penurunan paling mencolok. Data Asosiasi Mobil Penumpang Tiongkok mencatat, penjualan Tesla pada Februari 2025 hanya mencapai 30.688 unit. Angka ini anjlok hampir 50% dibandingkan dengan penjualan pada periode yang sama tahun sebelumnya, yaitu 60.365 unit.
Tak hanya penjualan, performa saham Tesla pun ikut terperosok. Dalam sebulan terakhir, saham perusahaan mobil listrik ini merosot lebih dari 20%. Kondisi ini semakin diperburuk dengan aksi protes dan vandalisme terhadap produk Tesla yang marak terjadi sebagai bentuk ketidakpuasan terhadap sikap politik Elon Musk.
Penurunan ini menjadi pukulan telak bagi Tesla, yang sebelumnya menikmati masa kejayaan dengan harga saham mencapai puncaknya di US$480 pada Desember 2024. Kini, saham Tesla harus berjuang keras untuk kembali ke level tersebut.
Beberapa analis menilai, penurunan Tesla ini merupakan dampak langsung dari keterlibatan Elon Musk dalam politik. Sikap kontroversialnya telah memicu gelombang protes dan aksi boikot terhadap produk Tesla. Bahkan, fasilitas pengisian daya Tesla pun menjadi sasaran vandalisme.
Dalam sebuah kesempatan, Elon Musk mengakui kesulitan yang dihadapinya. Miliarder ini tampak emosional saat ditanya tentang bagaimana ia mengelola bisnisnya di tengah kesibukannya sebagai pejabat pemerintah.
"Saya hanya berusaha membuat pemerintah lebih efisien, menghilangkan pemborosan dan penipuan. Sejauh ini, kami membuat kemajuan yang baik," ujarnya.
Namun, pasar nampaknya merespons berbeda. Apakah keterlibatan Elon Musk dalam politik akan terus menghantui Tesla? Kita tunggu saja perkembangan selanjutnya.