Nikel merupakan salah satu komoditas unggulan Indonesia yang memiliki potensi besar untuk dikembangkan sebagai bahan baku baterai kendaraan listrik. Namun, belakangan muncul isu bahwa nikel akan ditinggalkan oleh produsen mobil listrik seperti Tesla, yang dikabarkan lebih memilih baterai lithium ferro-phosphate (LFP) yang tidak mengandung nikel.
Isu ini mendapat tanggapan dari beberapa pejabat di Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves), yang merupakan anak buah Menteri Luhut Binsar Pandjaitan. Mereka menegaskan bahwa nikel tetap diminati di pasar mobil listrik, terutama untuk mobil-mobil berkelas premium yang membutuhkan baterai dengan kapasitas dan ketahanan yang tinggi.
Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur dan Transportasi Kemenko Marves, Rachmat Kaimuddin, mengatakan bahwa kendaraan listrik di Indonesia tetap akan menggunakan baterai nickel manganese cobalt (NMC) yang mengandung nikel, meskipun sejumlah merek mulai melirik LFP. Alasannya, ketersediaan nikel sangat melimpah di Tanah Air.
"Jangan khawatir industri nikel kita, terlepas kita banyak yang pakai LFP atau enggak, nikel kita akan selalu digunakan baik untuk battery materials maupun stainless steel dan sebagainya," ujar Rachmat dalam Sosialisasi Insentif atas Investasi KBLBB, dikutip dari CNN Indonesia.
Rachmat juga menjelaskan bahwa baterai nikel banyak digunakan di mobil-mobil mahal atau high-end, yang membutuhkan jarak tempuh yang lebih jauh dan performa yang lebih baik. Sementara untuk mobil listrik murah atau low-end, silakan saja memakai LFP, asalkan pabriknya ada di Indonesia.
"Untuk mendorong affordability monggo aja pakai LFP, enggak apa-apa. Yang penting nanti pabriknya baik NMC maupun LFP ada di Indonesia," tegasnya.
Hal senada juga disampaikan oleh Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim dan Energi Kemenko Marves, Jodi Mahardi, yang menilai kapasitas dan ketahanan baterai nikel lebih oke dibandingkan dengan baterai dengan komponen LFP. Jodi menegaskan baterai berbasis nikel jauh lebih efisien untuk digunakan dibandingkan dengan baterai berkomponen LFP.
"Kan LFP itu energy density-nya tetap nggak bisa iniin (menandingi) nickel base lah, baterainya membutuhkan ukuran besar. Nggak seefisien yang nickel base, itu sih yang saya tau, correct me if I’m wrong, setahu saya energy density-nya belum bisa ngalahin lah yang nickel base," sebut Jodi di Hotel Pullman, Jakarta Pusat.
Jodi juga memaparkan bahwa pabrikan mobil listrik sekelas Tesla pun masih percaya untuk menggunakan baterai berbasis nikel. Memang LFP juga digunakan untuk mobil listrik di China, namun jumlahnya juga terbatas hanya untuk mobil-mobil yang digunakan di tengah kota saja.
"Tesla pun menggunakan nickel base kan, yang di Amerika pakai nikel, yang di China itu pake LFP mungkin untuk yang di city aja gitu yang bisnisnya nggak jauh," papar Jodi.
Sementara itu, Menteri Luhut Binsar Pandjaitan sendiri membuka suara soal isu Tesla pakai baterai LFP. Ia menuding bahwa isu tersebut adalah kebohongan publik yang bertujuan untuk menjatuhkan industri nikel Indonesia. Ia mengatakan bahwa Tesla masih menggunakan baterai berbasis nikel untuk mobil-mobilnya yang standar, sedangkan LFP hanya digunakan untuk mobil-mobil yang lebih murah .
"Apakah benar nikel akan ditinggalkan? Ini adalah kebohongan publik. Kenapa saya katakan demikian? Karena LFP itu hanya dipakai oleh Tesla kepada mobilnya yang standar. Karena kualitas jarak tempuhnya itu lebih bagus ke nikel dan itu Tesla sebagian juga masih memakai bahan baku nikel," ungkap Luhut dalam konferensi pers Kinerja Investasi 2023.
Luhut juga menyatakan publik perlu tahu bahwa lithium baterai berbasis nikel bisa didaur ulang, sedangkan baterai LFP sejauh ini masih belum bisa didaur ulang. "LFP tadi itu tidak bisa recycling sampai hari ini, tapi sekali lagi, teknologi itu terus berkembang," sebut Luhut.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa nikel tetap memiliki prospek cerah di pasar mobil listrik, terutama untuk segmen premium yang membutuhkan baterai dengan kualitas tinggi. Indonesia, sebagai salah satu produsen nikel terbesar di dunia, tentu harus memanfaatkan peluang ini dengan baik, dengan mengembangkan industri baterai berbasis nikel di dalam negeri.