Jakarta – Sektor transportasi menjadi sorotan utama dalam upaya menekan emisi karbon di Indonesia. Meskipun pemerintah gencar mempromosikan kendaraan listrik, transisi energi di sektor ini menghadapi sejumlah tantangan krusial, terutama terkait regulasi dan insentif.
Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, Eniya Listiani Dewi, menekankan pentingnya sektor transportasi dalam mencapai target Net Zero Emission (NZE) pada 2060. "Transportasi itu pemegang kunci penting juga untuk bisa diturunkan emisinya," ujarnya dalam sebuah acara di Jakarta, Jumat (14/2/2025). Jika target penurunan emisi di sektor transportasi dan industri tidak tercapai pada 2030, target NZE 2060 terancam gagal.
Indonesia memiliki potensi EBT yang sangat besar, mencapai 3,6 terawatt (TW), dengan tenaga surya sebagai sumber utama. Namun, bauran energi saat ini masih didominasi energi fosil. Target bauran EBT sebesar 23% pada 2025 tampaknya sulit tercapai, mengingat realisasi hingga 2024 baru mencapai 14,1%.
Kendaraan listrik berbasis baterai (BEV) menjadi fokus pemerintah dengan berbagai insentif. Namun, adopsi BEV masih jauh dari harapan, dan transisi dari mobil konvensional ke mobil listrik menghadapi tantangan yang signifikan.
Lebih dari sekadar BEV, pemerintah perlu melirik opsi lain seperti bioetanol dan biofuel. Meski begitu, kedua opsi ini masih menyimpan pekerjaan rumah, terutama soal ketersediaan bahan baku. Aspek lain yang penting adalah kemampuan pabrikan menyesuaikan teknologinya.
Teknologi hidrogen juga tidak boleh diabaikan. Penelitian terkait hidrogen telah dimulai melalui kolaborasi dan dukungan pendanaan dari pemerintah serta industri. Namun, pengembangan transportasi berbasis hidrogen terhambat oleh ketiadaan regulasi, khususnya terkait insentif.
"Masalah insentif untuk yang renewable itu kita landaskan kepada rancangan undang-undang energi baru, energi terbarukan yang masih belum dibahas lagi. Nah dasarnya itu," jelas Eniya. Ketiadaan regulasi yang memungkinkan pengalihan insentif dari energi fosil ke energi terbarukan, termasuk hidrogen, menjadi penghalang utama.
Eniya menambahkan bahwa insentif bagi industri akan bergantung pada mekanisme ekonomi karbon yang tertuang dalam RUU Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBET). RUU ini diharapkan menjadi landasan hukum yang kuat untuk memberikan insentif bagi badan usaha yang melakukan mitigasi iklim dan penurunan emisi.
Dengan waktu yang semakin mendesak, pemerintah perlu segera mengatasi hambatan regulasi dan mempercepat pembahasan RUU EBET. Tanpa regulasi yang jelas dan insentif yang memadai, transisi energi di sektor transportasi akan berjalan lambat, dan target emisi yang telah ditetapkan akan sulit dicapai. Semua pihak, termasuk pemerintah, industri, dan masyarakat, perlu bekerja sama untuk mewujudkan transisi energi yang sukses dan mencapai target NZE pada 2060.