Industri otomotif Indonesia tengah menghadapi persimpangan jalan. Ambisi mencapai net zero emission (NZE) atau emisi nol karbon pada tahun 2060, di satu sisi, berpotensi menekan pertumbuhan ekonomi yang selama ini ditopang oleh sektor ini. Di sisi lain, mempertahankan status quo dengan konsumsi bahan bakar fosil yang tinggi, jelas bertentangan dengan komitmen global terhadap keberlanjutan.
Senior analis kebijakan energi dari think tank independen, Arya Dwipangga, menyoroti dilema ini. "Kita harus mengakui, transisi menuju kendaraan listrik (EV) tidak bisa terjadi dalam semalam. Industri otomotif memiliki ekosistem yang luas, melibatkan jutaan tenaga kerja dan investasi besar," ujarnya. "Jika kita terburu-buru mematikan mesin produksi kendaraan konvensional, dampaknya bisa sangat signifikan terhadap perekonomian."
Data menunjukkan, kontribusi sektor otomotif terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) cukup signifikan. Pada tahun 2023, dengan populasi sepeda motor mencapai 120 juta unit dan mobil 20 juta unit, sektor ini menyumbang sekitar 5% terhadap output ekonomi nasional. Pertanyaannya kemudian, bagaimana mempertahankan kontribusi ini seiring dengan peralihan ke teknologi ramah lingkungan?
Arya menekankan perlunya strategi transisi yang terukur dan inklusif. "Pemerintah dan pelaku industri harus duduk bersama merumuskan peta jalan yang jelas. Insentif untuk pengembangan EV, infrastruktur pengisian daya yang memadai, serta program edukasi untuk masyarakat, adalah kunci," jelasnya.
Selain itu, lanjut Arya, fokus tidak hanya boleh tertuju pada kendaraan listrik murni (BEV). Teknologi hybrid dan plug-in hybrid bisa menjadi jembatan yang efektif menuju era elektrifikasi, sembari menunggu infrastruktur dan teknologi BEV semakin matang. "Kita juga perlu mendorong pengembangan bahan bakar nabati sebagai alternatif pengganti BBM fosil. Ini bisa menjadi solusi jangka pendek yang lebih realistis," tambahnya.
Tantangan lain yang perlu diatasi adalah ketergantungan industri otomotif pada impor komponen. Mendorong lokalisasi produksi komponen EV akan memperkuat industri dalam negeri dan menciptakan lapangan kerja baru. "Jika kita bisa membangun ekosistem EV yang mandiri, Indonesia tidak hanya akan menjadi pasar, tetapi juga pemain global yang kompetitif," pungkas Arya.
Meskipun tantangan yang dihadapi cukup kompleks, peluang untuk menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi dan keberlanjutan di sektor otomotif tetap terbuka lebar. Dengan inovasi, kolaborasi, dan kebijakan yang tepat, Indonesia bisa mencapai target emisi nol tanpa mengorbankan kesejahteraan ekonomi masyarakat.