Isu subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) kembali mencuat. Kali ini, Majelis Ulama Indonesia (MUI) secara tegas menyatakan bahwa penggunaan Pertalite oleh masyarakat mampu adalah haram. Fatwa ini menjadi sorotan di tengah upaya pemerintah menertibkan distribusi BBM bersubsidi agar tepat sasaran.
Sekretaris Komisi Fatwa MUI, KH Miftahul Huda, menjelaskan bahwa subsidi BBM adalah amanah negara yang diperuntukkan bagi masyarakat yang membutuhkan, seperti transportasi umum, nelayan, dan masyarakat berpenghasilan rendah. Mengkonsumsi Pertalite yang notabene disubsidi oleh negara, padahal tidak berhak, sama dengan mengambil hak orang lain.
"Dalam perspektif hukum Islam, tindakan ini termasuk perbuatan zalim. Orang kaya yang menikmati subsidi BBM sama dengan merampas hak fakir miskin dan tergolong dosa besar," tegas Miftahul Huda.
Analogi yang digunakan pun cukup tajam. Penggunaan subsidi oleh mereka yang mampu disamakan dengan ghasab, yaitu mengambil atau menggunakan sesuatu yang bukan haknya tanpa izin.
Pernyataan MUI ini sejalan dengan upaya pemerintah yang tengah berupaya membatasi penggunaan Pertalite. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, sebelumnya telah menyampaikan bahwa Pertalite, sebagai Jenis Bahan Bakar Khusus Penugasan (JBKP), hanya akan diberikan kepada mereka yang berhak. Hal ini untuk menghindari penyalahgunaan subsidi oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, seperti pemilik kendaraan perusahaan tambang atau perkebunan yang seharusnya tidak menikmati subsidi.
Namun, implementasi pembatasan ini masih terganjal. Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak (BBM) masih menjadi acuan. Di sisi lain, pendaftaran kendaraan melalui aplikasi MyPertamina sudah berjalan, dengan harapan menghasilkan data yang valid untuk penyaluran subsidi yang lebih tepat sasaran.
Polemik subsidi BBM ini menyoroti beberapa poin krusial:
- Ketepatan Sasaran: Subsidi BBM seringkali dinikmati oleh mereka yang tidak berhak, sehingga membebani anggaran negara dan tidak efektif dalam membantu masyarakat miskin.
- Aspek Moral: Penggunaan subsidi oleh orang kaya melanggar prinsip keadilan dan kepedulian sosial.
- Efektivitas Kebijakan: Pemerintah perlu segera memperjelas aturan pembatasan BBM bersubsidi dan memastikan implementasinya berjalan efektif.
Fatwa MUI ini menjadi pengingat penting tentang pentingnya menjaga amanah subsidi dan memastikan manfaatnya benar-benar dirasakan oleh mereka yang membutuhkan. Pembatasan dan pengawasan distribusi BBM bersubsidi adalah langkah krusial untuk menciptakan keadilan dan efisiensi dalam pengelolaan sumber daya negara. Pertanyaan besarnya, mampukah pemerintah dan masyarakat bersinergi untuk mewujudkan hal ini?