Jakarta – Tragedi demi tragedi akibat truk Over Dimension Over Load (ODOL) terus menghantui jalanan Indonesia. Kecelakaan maut di Gerbang Tol Ciawi 2 awal Februari lalu hanyalah puncak gunung es dari masalah yang jauh lebih besar: ancaman keselamatan, kerugian ekonomi, dan kerusakan lingkungan.
Pakar keselamatan jalan, Rio Octaviano, menyebut ODOL sebagai bom waktu di jalan tol. Truk yang kelebihan muatan kerap berjalan di bawah kecepatan minimum, menciptakan disparitas kecepatan yang berbahaya. "Kalau dia overload, risikonya pengereman tidak akan maksimal. Untuk menyiasatinya, mereka melakukan perjalanan sangat lambat," jelasnya dalam sebuah diskusi daring.
Penegakan hukum di jalan tol dinilai sebagai solusi paling efektif. "Karena access control-nya adalah satu, kendaraan yang masuk jalan tol akan mudah untuk diatur," imbuh Rio.
Masalah ODOL bukan lagi sekadar pelanggaran lalu lintas biasa. Ini adalah kejahatan yang merusak infrastruktur jalan, memicu kecelakaan fatal, dan merugikan negara.
Lebih dari itu, ODOL juga memicu inefisiensi bahan bakar yang luar biasa. Ahmad Safrudin, Direktur Eksekutif KPBB, mengungkapkan bahwa pada tahun 2021, truk menyedot hampir 30% dari total pasokan BBM nasional. "Truk ODOL tidak hanya berisiko mengalami kerusakan, tetapi juga menyebabkan konsumsi BBM yang jauh lebih tinggi," tegasnya. Pemborosan BBM ini membebani perekonomian dan memperparah ketergantungan pada energi fosil.
Dengan menekan angka ODOL, Indonesia bisa menghemat konsumsi BBM secara signifikan, mengurangi emisi gas rumah kaca, dan bergerak menuju keberlanjutan lingkungan.
KPBB mendesak Menteri Perhubungan untuk menindak tegas para pelaku ODOL demi mewujudkan "Zero ODOL" secara total. "Penertiban pelanggaran ODOL adalah keharusan," pungkas Ahmad Safrudin.
Sudah saatnya pemerintah dan aparat penegak hukum bertindak tegas. Nyawa manusia, stabilitas ekonomi, dan kelestarian lingkungan adalah taruhannya. Kebijakan Zero ODOL bukan lagi pilihan, melainkan keharusan mendesak yang tak bisa ditunda.