JAKARTA – Sorotan publik kembali tertuju pada penggunaan pelat nomor RI, kali ini dengan kode 36, menyusul viralnya sebuah video di media sosial. Dalam video tersebut, terlihat mobil berpelat RI 36 yang dikawal oleh petugas patroli jalan raya (patwal) di tengah kemacetan. Insiden ini memicu perdebatan mengenai urgensi dan etika pengawalan kendaraan pejabat, serta hak pengguna jalan lainnya.

Video yang beredar memperlihatkan bagaimana patwal membuka jalan untuk mobil yang belakangan diketahui milik Utusan Khusus Presiden Bidang Generasi Muda dan Pekerja Seni, Raffi Ahmad. Namun, gestur petugas patwal terhadap pengemudi taksi yang dianggap menghalangi laju iring-iringan, menuai kritik pedas. Banyak yang menilai tindakan tersebut arogan dan tidak menghargai pengguna jalan lain yang juga sedang berusaha memberikan jalan.

Ketua Umum Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), Tory Damantoro, menekankan pentingnya pemahaman mengenai fungsi patwal. Menurutnya, pengawalan seharusnya diberikan hanya pada kendaraan prioritas yang memiliki urgensi tinggi. Ia juga mengimbau agar setiap pemegang fasilitas patwal, terlepas dari statusnya, untuk menempatkan diri sebagai warga negara yang setara, bukan hanya sebagai pejabat.

"Filosofi patwal adalah memberikan kesempatan jalan pada kendaraan prioritas apabila ada urgensi atau ada hal yang sangat penting," ujar Tory. Ia menambahkan, jika pemahaman ini tidak dimiliki, baik oleh pengemudi kendaraan prioritas maupun petugas patwal, maka potensi penyalahgunaan fasilitas ini akan terus terjadi.

Pandangan yang lebih tegas disampaikan oleh pengamat transportasi dari INSTRAN (Institut Studi Transportasi), Darmaningtyas. Menurutnya, fasilitas patwal hanya boleh digunakan untuk presiden, wakil presiden, kendaraan pemadam kebakaran, dan ambulans. Ia menegaskan bahwa penggunaan patwal di luar kategori tersebut, termasuk untuk menteri dan selebriti, tidaklah layak dan justru menyusahkan masyarakat.

"Patwal selain untuk presiden, wakil presiden, damkar, dan ambulans adalah haram, sebab akan menyusahkan masyarakat. Kita ini bayar pajak, masa harus mengarak mereka yang kita biayai dari pajak kita," tegas Darmaningtyas. Ia juga menyarankan masyarakat untuk tidak mengalah jika menghadapi situasi serupa, sebagai bentuk penolakan terhadap praktik pengawalan yang dianggap tidak berdasar.

Kontroversi ini menjadi pengingat akan perlunya peninjauan kembali aturan mengenai pengawalan kendaraan prioritas. Publik berharap, dengan adanya transparansi dan penegakan hukum yang tegas, penyalahgunaan fasilitas patwal dapat diminimalisir, dan semua pengguna jalan dapat diperlakukan secara adil. Kasus pelat RI 36 ini menjadi momentum untuk merefleksikan kembali prioritas jalan raya dan etika berlalu lintas di Indonesia.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini