Jakarta – Predikat "mobil murah" yang dulu melekat pada Low Cost Green Car (LCGC) kini semakin pudar. Lebih dari satu dekade sejak kehadirannya di pasar otomotif Indonesia, harga LCGC terus merangkak naik, bahkan beberapa model kini menembus angka Rp 200 juta. Fenomena ini memicu pergeseran persepsi dan fungsi LCGC di mata konsumen.

Awalnya, LCGC digadang-gadang sebagai solusi mobilitas bagi masyarakat dengan anggaran terbatas. Program yang digulirkan pemerintah pada 2013 ini memang berhasil mendongkrak penjualan mobil secara signifikan, bahkan mencatatkan rekor penjualan tertinggi sepanjang sejarah. Kebijakan bebas pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) menjadi daya tarik utama, ditambah dengan syarat kapasitas mesin yang irit bahan bakar.

Namun, seiring berjalannya waktu, dinamika pasar dan inflasi tak terhindarkan. Harga LCGC pun mengalami penyesuaian. Data menunjukkan, beberapa model yang dulunya dijual dengan harga di bawah Rp 150 juta, kini harganya melambung hingga mendekati atau bahkan melewati Rp 200 juta. Kenaikan ini bukan tanpa alasan. Kenaikan biaya produksi, fluktuasi nilai tukar, dan penyesuaian harga yang dilakukan secara berkala adalah faktor-faktor yang memengaruhi.

Di sisi lain, pergeseran fungsi LCGC juga semakin tampak. Lebih dari sekadar kendaraan pribadi, kini banyak pemilik LCGC yang memanfaatkannya sebagai tulang punggung ekonomi. Iritnya konsumsi bahan bakar dan biaya perawatan yang relatif terjangkau membuat LCGC menjadi pilihan menarik bagi pengemudi taksi online atau layanan transportasi berbasis aplikasi lainnya. Dengan kata lain, LCGC telah bertransformasi menjadi "kendaraan pencari nafkah" bagi sebagian masyarakat.

Penurunan penjualan LCGC pada tahun 2024 juga menjadi sinyal bahwa pasar sedang mencari keseimbangan baru. Jika pada tahun 2023, penjualan LCGC mencapai 204.705 unit, angka ini merosot menjadi 176.766 unit pada tahun 2024. Penurunan ini mengindikasikan bahwa konsumen mulai mempertimbangkan opsi lain di segmen yang lebih tinggi atau bahkan beralih ke segmen lain.

Peningkatan harga LCGC tentu menimbulkan pertanyaan. Apakah LCGC masih relevan dengan tujuan awal sebagai mobil murah? Atau justru pergeseran fungsi LCGC menjadi kendaraan komersial memberikan peluang baru bagi produsen untuk berinovasi? Yang jelas, persaingan di pasar otomotif Indonesia akan semakin ketat dan dinamis, dan LCGC, dengan segala perubahannya, akan tetap menjadi bagian penting dari dinamika tersebut.

Berikut beberapa contoh perbandingan harga LCGC dulu dan sekarang:

  • Honda Brio Satya: Dulunya Rp 106 juta, kini mulai dari Rp 170,4 juta hingga Rp 202,5 juta.
  • Toyota Agya: Dulunya Rp 120,75 juta (harga tertinggi), kini mulai dari Rp 167,9 juta hingga Rp 191,4 juta.
  • Daihatsu Sigra: Sekarang Rp 139,2 juta hingga Rp 184,6 juta
  • Toyota Calya: Sekarang Rp 167,3 juta hingga Rp 192,6 juta.
  • Daihatsu Ayla: Dulunya Rp 76 juta – Rp 106 juta, kini Rp 138,5 juta hingga Rp 194,4 juta.

Perbandingan ini semakin menegaskan bahwa predikat "mobil murah" untuk LCGC sudah mulai usang. LCGC kini bukan lagi sekadar pilihan untuk mobil pertama, tetapi juga menjadi kendaraan andalan untuk menopang perekonomian keluarga.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini