Jakarta – Industri otomotif Indonesia tengah menghadapi tantangan serius. Penjualan mobil yang tak kunjung menembus angka satu juta unit dalam satu dekade terakhir, mengindikasikan adanya masalah mendasar yang lebih dalam dari sekadar fluktuasi pasar. Para ahli ekonomi dan pelaku industri sepakat, penyebab utama kemandekan ini adalah menyusutnya daya beli masyarakat, terutama kelas menengah.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat penurunan signifikan jumlah kelas menengah dalam lima tahun terakhir. Sebanyak 9,48 juta orang harus turun kelas, kini hanya menyisakan 47,85 juta orang dari populasi Indonesia. Proporsi kelas menengah pun anjlok, dari 21,45% menjadi hanya 17,13%. Padahal, kelas menengah sering disebut sebagai motor penggerak perekonomian. Angka ini tentu menjadi alarm bagi pemerintah dan pelaku industri.
Ekonom Raden Pardede menekankan bahwa daya beli adalah kunci utama. Turunnya jumlah kelas menengah secara langsung memukul penjualan otomotif. Pemberian insentif yang seringkali digadang-gadang sebagai solusi, menurutnya, hanya bersifat sementara. "Kata kunci adalah kelas menengah," tegasnya. Ia pun menambahkan bahwa visi Indonesia 2045 dengan kelas menengah yang kuat akan sulit tercapai jika tren ini terus berlanjut.
Peningkatan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% menjadi ancaman baru. Kenaikan ini akan memicu peningkatan biaya hidup secara keseluruhan dan semakin membebani masyarakat kelas menengah. Belum lagi, adanya pungutan opsen pajak yang mulai berlaku pada 2025, meskipun ada beberapa daerah yang memberikan relaksasi melalui diskon pajak kendaraan bermotor (PKB).
Raden juga mengimbau pabrikan otomotif untuk tidak mengambil keuntungan berlebihan saat daya beli sedang melemah. "Keseimbangan itu yang harus diperhatikan," ujarnya, menekankan pentingnya menjaga harga agar tetap terjangkau.
Sekretaris Umum Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), Kukuh Kumara, menyoroti kesenjangan antara kenaikan harga mobil dan pertumbuhan pendapatan masyarakat. "Harga mobil kita itu naiknya rata-rata 7,5 persen per tahun. Sementara income masyarakat kelas menengah tadi, naiknya di batasan inflasi 3 persen," jelasnya. Akibatnya, masyarakat semakin kesulitan untuk membeli mobil, menciptakan jurang yang semakin lebar.
Proyeksi Gaikindo pun tidak menggembirakan. Mereka memperkirakan penjualan mobil di Indonesia belum akan mampu menembus satu juta unit pada tahun 2025. Meskipun ada harapan dari model baru dan penundaan opsen pajak, target yang realistis berada di kisaran 900-an ribu unit.
Menyusutnya kelas menengah bukan hanya sekadar masalah bagi industri otomotif, namun juga menjadi indikasi masalah ekonomi yang lebih luas. Pemerintah perlu mengambil langkah-langkah konkret untuk memperkuat daya beli masyarakat, bukan hanya dengan insentif jangka pendek, namun juga kebijakan yang mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan. Jika tidak, potensi Indonesia untuk menjadi negara maju dengan kelas menengah yang kuat hanyalah akan menjadi mimpi.