Jakarta – Polemik potongan aplikasi ojek online (ojol) kembali mencuat. Beberapa pihak menilai, potongan hingga 30% terlalu besar dan memberatkan para pengemudi. Namun, di sisi lain, perusahaan aplikator berdalih bahwa biaya tersebut adalah bagian dari sistem bagi hasil dan digunakan untuk mendukung kesejahteraan mitra pengemudi. Lantas, di mana titik tengahnya?

Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Eko Listyanto, mengkritik keras besaran potongan aplikasi tersebut. Menurutnya, kondisi persaingan yang semakin ketat ditambah potongan yang tinggi membuat para pengemudi semakin kesulitan. "Ini jelas memberatkan, di saat persaingan semakin sengit, potongan malah naik," ujarnya.

Senada dengan Eko, pakar otomotif dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Yannes Pasaribu, juga menekankan bahwa potongan 30% sangat signifikan mengurangi pendapatan pengemudi. "Mereka harus menanggung biaya operasional kendaraan, bahan bakar, dan perawatan. Potongan sebesar itu jelas memukul pendapatan mereka," jelas Yannes.

Keluhan ini juga disuarakan oleh Raden Igun Wicaksono, Ketua Umum Garda Indonesia. Ia mengungkapkan bahwa aturan yang berlaku, yakni Kepmenhub KP Nomor 1001 Tahun 2022, membatasi potongan aplikasi maksimal 20%. "Namun, di lapangan, dua perusahaan besar menerapkan potongan lebih dari 30%. Tidak ada tindakan tegas dari regulator," tegasnya. Akibatnya, banyak pengemudi ojol yang terpaksa bekerja lebih keras demi mencukupi kebutuhan sehari-hari.

Namun, klaim berbeda datang dari pihak perusahaan aplikasi. Chief of Public Affairs Grab Indonesia, Tirza Munusamy, menegaskan bahwa biaya layanan yang mereka terapkan sudah sesuai dengan regulasi. Ia juga membantah bahwa potongan tersebut hanya menguntungkan perusahaan. "Biaya layanan ini adalah bentuk bagi hasil dengan mitra, dan sebagian kami kembalikan untuk mendukung operasional, insentif, beasiswa, hingga asuransi," jelas Tirza.

Pernyataan Tirza membuka perspektif baru. Di satu sisi, biaya potongan memang mengurangi pendapatan pengemudi. Namun, di sisi lain, perusahaan juga memiliki tanggung jawab untuk memastikan keberlangsungan platform dan memberikan dukungan bagi mitra. Pertanyaannya, apakah insentif dan dukungan yang diberikan perusahaan setara dengan potongan yang diterapkan?

Di sinilah pentingnya dialog yang transparan antara pengemudi dan perusahaan. Tanpa komunikasi yang baik, ketidakpercayaan akan terus membayangi hubungan kedua belah pihak. Perlu ada mekanisme yang jelas untuk memastikan bahwa sistem bagi hasil benar-benar adil dan menguntungkan semua pihak.

Regulator juga memiliki peran penting dalam mengawasi implementasi aturan yang sudah ada. Sanksi tegas perlu diberikan kepada perusahaan yang melanggar aturan, sehingga tercipta iklim usaha yang sehat dan berkeadilan bagi semua.

Solusi yang mungkin dapat diterapkan adalah sistem potongan berjenjang yang disesuaikan dengan kinerja pengemudi. Insentif yang lebih besar bisa diberikan kepada pengemudi yang berkinerja baik, sementara potongan yang lebih kecil bisa diterapkan kepada pengemudi yang baru bergabung atau memiliki kinerja di bawah standar. Selain itu, transparansi dalam penggunaan dana potongan juga perlu ditingkatkan agar pengemudi memahami kemana dana tersebut dialokasikan.

Polemik potongan aplikasi ojol ini menuntut perhatian serius dari semua pihak. Bukan hanya soal angka, tapi juga tentang keadilan dan kesejahteraan para pengemudi ojol. Tanpa solusi yang komprehensif dan berkelanjutan, potensi konflik antara pengemudi dan aplikator akan terus berlanjut.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini