Jakarta – Industri otomotif Indonesia diprediksi menghadapi tahun yang berat pada 2025. Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) pesimistis penjualan mobil baru bisa menembus angka satu juta unit. Target yang tak tercapai ini bukan semata-mata karena kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), melainkan adanya momok baru bernama opsen pajak.
Kenaikan PPN menjadi 12% memang menjadi salah satu faktor yang perlu diperhatikan. Namun, menurut Sekretaris Umum Gaikindo, Kukuh Kumara, dampaknya tidak signifikan mengingat mayoritas masyarakat Indonesia membeli mobil secara kredit. Justru, opsen pajak yang diatur dalam Undang-Undang HKPD menjadi perhatian utama.
Opsen pajak, yang merupakan tambahan pungutan pajak berdasarkan persentase tertentu, dapat memukul daya beli masyarakat. Kukuh Kumara mengungkapkan, tanpa opsen saja penjualan tahun lalu tidak mampu mencapai satu juta unit. Ia memperkirakan, dengan adanya kebijakan relaksasi opsen dari beberapa daerah, penjualan mungkin hanya akan berada di kisaran 900 ribu unit. "Namun, jika opsen dijalankan secara penuh, kita bisa turun jauh ke bawah. Penjualan bisa kembali ke level pandemi, di kisaran 650-700 ribu unit," ujarnya di Kementerian Perindustrian, Selasa (14/1/2025).
Kabar baiknya, Kementerian Perindustrian menginformasikan bahwa 25 provinsi telah memberikan keringanan opsen pajak. Meski demikian, sifat keringanan ini masih sementara dan berpotensi kembali berlaku. Menteri Dalam Negeri juga telah mengeluarkan surat edaran yang meminta pemerintah daerah memberikan keringanan pajak kendaraan bermotor. Hal ini menjadi angin segar di tengah kekhawatiran industri.
Pengamat otomotif dari LPEM UI, Riyanto, turut mengamini proyeksi suram tersebut. Ia memperkirakan opsen pajak dapat mendongkrak harga mobil hingga 6 persen. Dengan elastisitas permintaan mobil sebesar 1,5, kenaikan harga tersebut dapat menurunkan permintaan hingga 9 persen. "Simulasi kami menunjukkan, jika opsen berlaku penuh, penjualan tahun depan hanya akan mencapai sekitar 815 ribu unit," jelas Riyanto. Ia menambahkan, angka ini jauh di bawah potensi penjualan tanpa adanya opsen, yang diproyeksikan mencapai 899 ribu unit.
Riyanto juga menyoroti potensi masalah migrasi pembelian. Jika suatu daerah tetap memberlakukan opsen, sementara daerah lain tidak, masyarakat mungkin akan beralih membeli mobil di daerah yang lebih murah. Kondisi ini akan merugikan daerah yang tetap memberlakukan opsen karena kehilangan potensi pajak.
Ketidakpastian kebijakan opsen pajak membuat pelaku industri otomotif dan konsumen berada di persimpangan jalan. Relaksasi opsen oleh beberapa daerah memang memberikan sedikit harapan, namun industri membutuhkan kepastian dan kebijakan yang lebih terukur agar dapat kembali bangkit. Pemerintah perlu segera mengambil langkah konkret untuk menjaga stabilitas dan pertumbuhan industri yang memiliki kontribusi signifikan terhadap perekonomian negara.