Stockholm, Swedia – Di tengah hiruk pikuk kota, para pejabat publik Swedia terlihat berbaur dengan masyarakat di halte bus dan stasiun kereta. Pemandangan ini bukan hal aneh, melainkan bagian dari budaya politik yang menjunjung kesederhanaan dan efisiensi. Para menteri dan anggota parlemen Swedia, tak terkecuali, mengandalkan transportasi umum untuk mobilitas sehari-hari. Tidak ada mobil dinas mewah atau sopir pribadi yang menemani mereka.
Kebijakan ini bukan tanpa alasan. Pemerintah Swedia ingin memastikan bahwa para wakil rakyat tetap terhubung dengan realitas kehidupan masyarakat. Dengan menggunakan transportasi umum, para pejabat merasakan langsung denyut nadi kehidupan warga, mulai dari kepadatan jadwal hingga potensi masalah yang dihadapi pengguna transportasi umum.
Bahkan, ketika seorang politisi Swedia memilih naik taksi alih-alih transportasi umum, hal itu justru menjadi sorotan media. Ini menjadi indikator betapa ketatnya pengawasan publik terhadap penggunaan anggaran dan fasilitas negara di Swedia. Satu-satunya pengecualian adalah Perdana Menteri, yang mendapatkan pengawalan dan mobil dinas dari pasukan keamanan demi alasan keamanan.
Parlemen Swedia sendiri hanya memiliki tiga mobil dinas yang diperuntukkan bagi ketua dan tiga wakilnya. Mobil tersebut pun hanya boleh digunakan untuk keperluan tugas parlemen, bukan untuk antar-jemput pribadi. Prinsip ini ditegaskan oleh pejabat parlemen, Rene Poedtke, yang menyebut bahwa parlemen bukanlah "perusahaan taksi".
Jakarta, Indonesia – Sementara itu, di Indonesia, pemandangan yang sangat berbeda terjadi. Para menteri negara, sesuai peraturan, mendapatkan fasilitas kendaraan dinas lengkap dengan pengemudi. Aturan ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah yang mengatur hak-hak keuangan dan administratif menteri.
Anggota DPR RI pun tak kalah istimewa. Mereka tidak hanya mendapatkan mobil dinas, tetapi juga pelat nomor khusus yang menandai status mereka sebagai wakil rakyat. Pelat nomor dengan logo "Dewan Perwakilan Rakyat" ini menjadi identitas yang membedakan kendaraan mereka dari masyarakat umum. Bahkan, tidak ada keterangan masa berlaku pajak pada plat nomor, berbeda dengan plat nomor kendaraan warga sipil.
Perbedaan kontras antara Swedia dan Indonesia ini memunculkan pertanyaan mendasar: apa sebenarnya tujuan dari pemberian fasilitas negara kepada pejabat publik? Apakah fasilitas tersebut benar-benar menunjang kinerja mereka, atau justru menciptakan jurang pemisah dengan masyarakat yang mereka wakili?
Di Swedia, kesederhanaan dan efisiensi menjadi landasan dalam pemberian fasilitas negara. Para pejabat publik dituntut untuk hidup dan merasakan apa yang dirasakan oleh rakyat, sehingga mereka dapat membuat kebijakan yang benar-benar sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Di Indonesia, fasilitas negara untuk pejabat publik lebih banyak terkait dengan status dan simbol jabatan. Hal ini bisa jadi memicu pertanyaan tentang akuntabilitas dan prioritas dalam pengelolaan anggaran negara. Perbedaan ini bukan sekadar persoalan fasilitas, namun lebih jauh mengenai nilai-nilai dan budaya politik yang dianut oleh masing-masing negara.
Perbandingan antara Swedia dan Indonesia ini menjadi refleksi yang menarik untuk diperhatikan dan didiskusikan. Apakah kita sebagai masyarakat sudah cukup kritis terhadap fasilitas yang diterima oleh para pejabat publik? Apakah kita telah memberikan cukup tekanan agar para pejabat publik tetap dekat dengan rakyat yang mereka wakili? Semua pertanyaan ini layak kita renungkan untuk mewujudkan sistem pemerintahan yang lebih akuntabel dan berpihak pada kepentingan rakyat.