Jakarta – Gelombang protes kembali menghantam industri ojek online (ojol). Kali ini, isu yang mencuat adalah potongan biaya aplikasi yang dinilai semakin memberatkan para pengemudi. Asosiasi ojol Garda Indonesia mengungkapkan bahwa aplikator seperti Gojek dan Grab memotong hingga 30% dari penghasilan setiap order, jauh melampaui batasan yang direkomendasikan pemerintah.

Raden Igun Wicaksono, Ketua Umum Garda Indonesia, menyatakan bahwa dari setiap transaksi, pengemudi hanya menerima 70% dari tarif yang dibayarkan konsumen. Sebagai contoh, jika tarif order sebesar Rp 20.000, pengemudi hanya mengantongi Rp 14.000. Potongan ini dinilai tidak adil dan membuat pendapatan pengemudi semakin tergerus.

"Potongan 30 persen ini sangat memberatkan. Dari nilai yang masuk ke dompet digital driver, 30 persennya langsung dipotong aplikator," ujar Raden Igun.

Ironisnya, regulasi pemerintah sendiri sebenarnya telah mengatur batasan potongan aplikasi maksimal 20%, sebagaimana tertuang dalam Kepmenhub KP Nomor 1001 Tahun 2022. Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa aplikator justru melampaui batasan tersebut. Hal ini memicu kekecewaan para pengemudi, yang merasa pemerintah tidak tegas dalam menindak praktik yang dianggap merugikan ini.

Akibat potongan yang besar, para pengemudi terpaksa bekerja lebih keras dengan jam kerja yang lebih panjang, bahkan mengorbankan waktu istirahat demi mengejar target pendapatan. Mereka harus "kerja rodi" untuk sekadar memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Regulator Saling Lempar Tanggung Jawab

Di tengah keluhan dan protes para pengemudi, pemerintah seolah terkesan saling lempar tanggung jawab. Kementerian Perhubungan (Kemenhub) menyatakan bahwa kewenangan untuk menindak aplikator berada di tangan Kementerian Komunikasi Digital (Komdigi), meskipun regulasi terkait tarif ojek online lahir dari Kemenhub.

Kepala Biro Komunikasi dan Informasi Publik (BKIP) Kemenhub Budi Rahardjo menjelaskan bahwa Kemenhub hanya berwenang memberikan rekomendasi batasan potongan aplikasi, sementara kebijakan lebih lanjut ada di Komdigi.

"Kita ke Komdigi hanya memberikan rekomendasi agar Komdigi memberikan teguran kepada aplikator. Jadi Kemenhub tidak bisa secara langsung," kata Budi.

Kemenhub mengakui telah menerima keluhan dari komunitas ojol terkait potongan aplikasi yang terlalu besar dan telah melakukan koordinasi internal. Namun, Kemenhub mengaku tidak memiliki kewenangan untuk mengumpulkan data di lapangan dan menindak perusahaan aplikasi. Kondisi ini membuat para pengemudi semakin frustrasi, karena tidak ada kejelasan mengenai pihak yang bertanggung jawab untuk menyelesaikan persoalan ini.

Nasib Ojol di Persimpangan Jalan

Potongan aplikasi yang tinggi, ditambah dengan ketidakjelasan regulasi dan tanggung jawab antar instansi pemerintah, membuat nasib para pengemudi ojek online semakin terombang-ambing. Mereka harus berjuang keras untuk mencari nafkah, sementara keuntungan besar justru dinikmati oleh perusahaan aplikasi.

Kasus ini sekali lagi menyoroti pentingnya pengawasan dan penegakan hukum yang tegas terhadap praktik bisnis yang merugikan masyarakat, khususnya para pekerja sektor informal seperti pengemudi ojek online. Jika pemerintah tidak segera bertindak, bukan tidak mungkin gelombang protes yang lebih besar akan kembali terjadi, dan nasib para pengemudi ojek online akan semakin terpuruk.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini