Jakarta – Industri otomotif Indonesia sedang menghadapi tantangan berat. Prospek penjualan mobil di tahun 2025 tampak suram, bahkan diprediksi tak mampu menembus angka 1 juta unit. Berbagai faktor, mulai dari melemahnya daya beli masyarakat hingga kebijakan pajak yang memberatkan, menjadi penyebab utama. Jika tidak ada langkah-langkah insentif yang signifikan, pasar mobil bisa terjerumus ke kondisi yang lebih parah.

Penurunan penjualan otomotif sudah terasa sejak tahun 2024. Data menunjukkan penurunan sekitar 15-16% dibandingkan tahun sebelumnya. Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi dan Elektronika Kemenperin, Setia Diarta, mengungkapkan bahwa penurunan daya beli masyarakat dan kenaikan suku bunga kredit kendaraan menjadi biang keladi utama.

Situasi semakin diperparah dengan adanya penerapan PPN 12% untuk semua jenis mobil, termasuk LCGC, serta penerapan opsen pajak kendaraan bermotor dan bea balik nama kendaraan. Meskipun beberapa provinsi memberikan relaksasi sementara, hal ini belum mampu mendongkrak pasar secara signifikan.

Kukuh Kumara, Sekretaris Umum Gaikindo, bahkan menyatakan kekhawatiran bahwa penjualan mobil tahun 2025 bisa anjlok di bawah 800 ribu unit jika opsen pajak tetap diberlakukan tanpa insentif tambahan. "Kita bisa turun jauh ke bawah, bisa balik ke zaman pandemi, bisa 650-700 ribuan unit. Ya, berat-lah," ujarnya.

Salah satu faktor krusial yang turut memengaruhi penurunan penjualan adalah merosotnya jumlah kelas menengah di Indonesia. Segmen ini, yang sebelumnya menjadi motor penggerak ekonomi, mengalami penurunan signifikan dari 57 juta pada 2019 menjadi 47,85 juta pada 2024. Kondisi ini, menurut pengamat ekonomi Raden Pardede, sangat berdampak pada penjualan mobil dan properti.

Insentif Mendesak untuk Selamatkan Pasar

Di tengah situasi yang sulit ini, insentif menjadi kunci untuk menyelamatkan pasar otomotif. Pengamat otomotif dari LPEM UI, Riyanto, menekankan bahwa insentif sementara dibutuhkan, namun penguatan daya beli dan pertumbuhan ekonomi jangka panjang juga harus diupayakan.

Menurut perhitungan LPEM UI, penerapan opsen pajak di semua wilayah bisa mendongkrak total pajak mobil menjadi 48,9% dari harga, dibandingkan sebelumnya yang sebesar 40,25%. Akibatnya, harga mobil baru diperkirakan naik 6,2% di tengah daya beli masyarakat yang belum pulih. Dengan elastisitas -1,5, penjualan mobil diprediksi turun 9,3% menjadi sekitar 780 ribu unit di tahun 2025.

Oleh karena itu, opsi diskon PPnBM untuk mobil 4×2 rakitan lokal dengan TKDN di atas 80%, seperti yang pernah dilakukan pada 2021, perlu dipertimbangkan kembali. Riyanto menjelaskan bahwa penurunan harga mobil melalui insentif PPnBM akan berdampak langsung pada peningkatan permintaan. Misalnya, dengan PPnBM 0%, harga mobil bisa turun 10,7% dan berpotensi memicu tambahan permintaan hingga 160 ribu unit.

"Intinya kalau dari sisi konsumen pasti melihat harga, karena bandingan dia adalah dengan pendapatannya atau kemampuan belinya. Dari setiap insentif membuat harganya turun pasti meningkatkan pasar kita," kata Riyanto.

Pemerintah kini dihadapkan pada pilihan sulit. Tanpa insentif, pasar otomotif berisiko mengalami kontraksi yang dalam. Namun, dengan insentif yang tepat, diharapkan pasar otomotif bisa kembali bergairah dan menjadi salah satu pendorong pertumbuhan ekonomi. Keputusan yang diambil dalam waktu dekat akan sangat menentukan arah industri otomotif Indonesia di tahun 2025 dan seterusnya.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini