Jakarta – Di akhir dekade 1990-an, nama Timor tiba-tiba mencuat dan menjadi perbincangan hangat di kalangan pecinta otomotif Indonesia. Mobil yang digadang-gadang sebagai mobil nasional ini, nyatanya menyimpan berbagai kontroversi dan polemik yang tak lekang dimakan waktu. Bagaimana tidak, di tengah ambisi pemerintah untuk menciptakan mobil rakyat, Timor justru hadir dengan praktik yang jauh dari kata "lokal".
Gagasan mobil nasional sendiri sebenarnya telah lama digulirkan oleh Presiden Soeharto di awal 1990-an. Tujuannya mulia, yakni menyediakan kendaraan roda empat yang terjangkau bagi masyarakat Indonesia. Namun, eksekusinya berujung pada hadirnya Timor, sebuah rebrand dari Kia Sephia yang didatangkan secara utuh dari Korea Selatan.
Pemerintah, melalui PT Timor Putra Nasional (TPN) yang dikomandoi oleh Tommy Soeharto, bekerja sama dengan Kia untuk memasarkan sedan kompak ini di Indonesia. Mobil tersebut kemudian diberi nama Timor dengan model S515, yang merupakan singkatan dari Teknologi Industri Mobil Rakyat.
Proyek ini pun diluncurkan dengan berbagai insentif yang menggiurkan, termasuk pembebasan bea masuk atas komponen impor. Kebijakan ini sontak menimbulkan riak ketidakpuasan di antara para produsen otomotif lainnya. Mereka merasa bahwa pemerintah telah menganakemaskan Timor dengan memberikan perlakuan khusus yang tidak adil. Bahkan, kebijakan ini juga memicu ketegangan diplomatik dengan negara-negara produsen otomotif karena dianggap sebagai hambatan perdagangan.
Spesifikasi dan Keunggulan Timor di Pasar
Di tengah hiruk pikuk kontroversi, Timor hadir dengan dua varian utama, yaitu S515 (karburator) dan S515i (injeksi). Model S515 dibekali mesin 1.5 liter 4-silinder dengan sistem bahan bakar karburator, menghasilkan tenaga sekitar 74-90 HP. Sedangkan S515i hadir dengan mesin injeksi 1.5 liter 4-silinder 16 katup yang lebih bertenaga, dengan output mencapai 110 HP.
Perbedaan paling mendasar antara keduanya terletak pada sistem pembakaran dan beberapa fitur tambahan. S515i, sebagai varian yang lebih tinggi, sudah dilengkapi dengan power window, tilt steering, dan electric mirror. Sementara itu, interior keduanya terbilang sederhana, namun tetap fungsional dengan adanya AC, kursi ergonomis, dan sistem audio standar.
Mesin yang digunakan pada Timor, ternyata bukan mesin buatan lokal. Keduanya merupakan turunan dari mesin B series milik Mazda, yang sebelumnya digunakan pada Ford Laser. Hal ini semakin menegaskan bahwa Timor bukanlah mobil nasional seutuhnya.
Harga Miring dan Kontroversi yang Memuncak
Salah satu daya tarik utama Timor adalah harganya yang sangat terjangkau. Saat diluncurkan, harga Timor S515 hanya berkisar Rp 35 juta, jauh lebih murah dibandingkan sedan Jepang sekelasnya yang bisa mencapai Rp 70 jutaan. Harga miring ini tentu saja berkat insentif dan pembebasan pajak impor yang diberikan pemerintah.
Namun, di balik harga yang menggiurkan, terdapat ironi yang begitu besar. Pemerintah saat itu menuntut produsen mobil asing untuk menggunakan 60 persen komponen lokal jika ingin mendapatkan keringanan pajak impor. Sementara Timor, yang notabene merupakan mobil nasional, justru mengimpor mobil secara utuh dan CKD dari Korea Selatan.
Akhir Perjalanan Timor dan Dampaknya
Meskipun kontroversial, Timor sempat meraih popularitas yang cukup tinggi di pasar otomotif Indonesia. Mobil ini banyak diminati karena perawatannya yang mudah dan harganya yang murah. Bahkan, Timor juga sempat menjadi armada taksi bagi beberapa perusahaan transportasi besar.
Di tahun pertamanya, Timor berhasil menduduki peringkat 6 besar penjualan mobil di Indonesia, mengungguli merek-merek terkenal lainnya. Namun, kejayaan Timor tidak berlangsung lama. Krisis moneter Asia Tenggara pada tahun 1997, ditambah dengan lengsernya Soeharto dari kursi kepresidenan, mengakhiri perjalanan Timor sebagai mobil nasional.
Selain itu, keputusan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) yang menyatakan program mobil nasional tidak sesuai dengan aturan perdagangan internasional, juga menjadi pukulan telak bagi TPN. Kebangkrutan Kia Motors pada tahun yang sama, yang kemudian dibeli oleh Hyundai, semakin menambah daftar panjang kisah pilu Timor.
Meskipun hanya berumur pendek, Timor telah meninggalkan jejak yang mendalam dalam sejarah otomotif Indonesia. Kisahnya menjadi pelajaran berharga tentang pentingnya transparansi dan keadilan dalam setiap kebijakan, serta dampak buruk dari praktik-praktik yang tidak adil. Timor juga menjadi simbol dari ambisi yang tidak terukur, dan bagaimana sebuah gagasan mulia dapat berujung pada kontroversi dan kegagalan.