Jakarta – Penerapan opsen pajak kendaraan bermotor (PKB) dan bea balik nama kendaraan bermotor (BBNKB) yang akan mulai berlaku pada 5 Januari 2025 mendatang, menuai pro dan kontra. Kalangan industri otomotif mengeluhkan kebijakan ini dapat memukul penjualan, sementara pemerintah daerah dihadapkan pada potensi peningkatan pendapatan. Lalu, benarkah opsen pajak ini akan menjadi beban baru bagi masyarakat atau justru solusi untuk keuangan daerah?
Opsen pajak, yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD), pada dasarnya merupakan pengalihan sebagian kewenangan pemungutan pajak dari pemerintah provinsi ke pemerintah kabupaten/kota. Tujuannya adalah untuk mempercepat penerimaan daerah dan memperkuat postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) kabupaten/kota.
Sebelumnya, pembagian hasil pajak provinsi ke kabupaten/kota seringkali mengalami keterlambatan karena proses yang periodik dan bergantung pada kebijakan masing-masing provinsi. Dengan adanya opsen, diharapkan bagian kabupaten/kota atas PKB dan BBNKB dapat diterima lebih cepat. Selain itu, opsen juga diharapkan dapat mengurangi beban belanja wajib pemerintah provinsi, seperti belanja pegawai dan operasional, karena sebagian tanggung jawab pemungutan pajak dialihkan ke kabupaten/kota.
Pemerintah menetapkan tarif opsen sebesar 66% dari PKB dan BBNKB yang terutang. Namun perlu dicatat, tarif pajak induknya sendiri telah diturunkan. Untuk PKB, tarif maksimal adalah 1,2% untuk kendaraan pertama dan 6% untuk pajak progresif. Sementara BBNKB maksimal 12%. Sebagai perbandingan, UU sebelumnya menetapkan tarif PKB minimal 1% dan maksimal 2% untuk kepemilikan pertama.
Meski demikian, kekhawatiran sektor otomotif tak bisa diabaikan. Menteri Perindustrian telah menyampaikan bahwa opsen pajak ini dapat membuat industri otomotif "gerah" dan berpotensi menurunkan minat beli masyarakat. Kenaikan biaya kendaraan yang signifikan, terutama di tengah kondisi ekonomi yang belum stabil, bisa menjadi pertimbangan konsumen untuk menunda atau bahkan membatalkan pembelian kendaraan. Jika hal ini terjadi, maka daerah juga yang akan merugi karena pendapatan dari pajak kendaraan ikut menurun.
Kondisi ini memunculkan pertanyaan: Apakah penurunan tarif pajak induk, yang dibarengi dengan penerapan opsen, akan benar-benar efektif meningkatkan penerimaan daerah tanpa membebani masyarakat dan industri? Pemerintah daerah perlu bijak dalam menyikapi potensi dampak negatif dari kebijakan ini, termasuk kemungkinan memberikan relaksasi pajak untuk menjaga daya beli masyarakat.
Opsen pajak, meskipun memiliki tujuan yang baik untuk memperkuat keuangan daerah, tetap harus diimplementasikan dengan hati-hati. Perlu ada evaluasi yang berkelanjutan dan adaptasi kebijakan yang tepat agar tidak justru kontraproduktif dan membebani perekonomian secara keseluruhan. Keberhasilan opsen pajak tidak hanya ditentukan oleh besarannya tarif, tapi juga oleh kesiapan daerah untuk mengelola dan mengawasi penerimaan pajak tersebut secara efektif dan transparan.
Penerapan opsen pajak kendaraan ini, pada akhirnya, akan menguji kemampuan pemerintah untuk menyeimbangkan antara kebutuhan finansial daerah dengan kesejahteraan masyarakat dan kelangsungan industri.