Jakarta – Studi terbaru mengungkap ancaman serius peningkatan polusi udara di Indonesia jika standar bahan bakar minyak (BBM) tidak segera ditingkatkan. Institute for Essential Service Reform (IESR) bersama Research Center for Climate Change UI dan Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB) menemukan bahwa tanpa perubahan signifikan, polusi dari kendaraan bermotor dapat melonjak 30-40 persen pada tahun 2030 mendatang.
Pemicunya adalah pertumbuhan populasi kendaraan dan peningkatan aktivitas transportasi. Ironisnya, 90 persen BBM yang beredar saat ini masih memiliki kandungan sulfur tinggi, antara 150-2.000 ppm. Ini jauh di atas standar internasional yang berdampak buruk pada kualitas udara dan kesehatan masyarakat.
"Kondisi ini sangat mengkhawatirkan. Kita harus segera bertindak," kata seorang peneliti dari IESR dalam pernyataan resminya.
Sebaliknya, penerapan standar Euro 4 secara masif akan memberikan dampak positif yang signifikan. Studi menunjukkan, dengan Euro 4, polutan particulate matter (PM) 2.5 dapat dipangkas hingga 96 persen, sementara SOx dan NOx bisa turun antara 82-98 persen. Standar Euro 4 sendiri mensyaratkan kandungan sulfur dalam BBM maksimal 50 ppm, jauh lebih rendah dibandingkan BBM yang banyak beredar saat ini.
Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, menekankan pentingnya percepatan implementasi Euro 4 dengan dukungan kebijakan terintegrasi serta pengawasan yang ketat. "Pemerintah harus memastikan kesiapan kilang domestik untuk memproduksi BBM Euro 4," ujarnya.
Implementasi ini memang membutuhkan investasi besar, namun Fabby meyakini bahwa kolaborasi antara pemerintah dan swasta dalam teknologi serta infrastruktur kilang akan memberikan manfaat yang jauh lebih besar bagi lingkungan, kesehatan, dan ekonomi.
Namun, transisi ini tidaklah tanpa tantangan. Analis Kebijakan Lingkungan IESR, Ilham R. F. Surya, menjelaskan bahwa penerapan Euro 4 akan meningkatkan biaya produksi BBM sekitar Rp 200-Rp 500 per liter. Oleh karena itu, pemerintah perlu mempersiapkan skema pembiayaan yang matang. Pilihan yang perlu dipertimbangkan termasuk penyesuaian harga yang dibebankan kepada konsumen, subsidi pemerintah, atau pembatasan akses BBM bersubsidi.
Studi ini juga menyoroti dampak buruk polusi udara terhadap kesehatan. Khusus di Jakarta, polusi udara berkontribusi besar terhadap meningkatnya kasus penyakit seperti pneumonia, penyakit jantung iskemik, dan penyakit paru obstruktif kronis (PPOK).
"Peningkatan kualitas udara adalah langkah yang tidak bisa ditunda. Kita bicara tentang masa depan kesehatan generasi mendatang," tegas Ilham.
Selain transisi ke Euro 4, studi ini juga mendorong pemerintah untuk menerapkan kebijakan transportasi berkelanjutan lainnya. Ini termasuk penyediaan transportasi publik yang nyaman, pengetatan baku mutu emisi kendaraan, mendorong penggunaan kendaraan listrik, serta penerapan manajemen lalu lintas yang ramah lingkungan.
Percepatan penerapan BBM Euro 4 bukan hanya tentang memenuhi standar internasional, tetapi juga tentang melindungi kesehatan masyarakat dan lingkungan. Pemerintah dituntut untuk segera mengambil langkah konkret agar Indonesia tidak semakin terjerembap dalam krisis polusi udara.