Pemerintah berencana memberlakukan dua kebijakan perpajakan baru mulai tahun depan, yaitu Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12% dan opsi pajak (opsen). Kebijakan ini tentu akan membawa dampak langsung terhadap industri otomotif di Indonesia.
Sekretaris Umum Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), Kukuh Kumara, memprediksi penjualan mobil di Indonesia akan mengalami penurunan yang signifikan akibat kebijakan tersebut. Bahkan, target penjualan tahun ini sebesar 850 ribu unit pun diyakini sulit tercapai.
"Kalau (kebijakan) itu diberlakukan, pasti turunnya akan tajam. Bisa jadi kita akan sama dengan saat pandemi, yaitu sekitar 500 ribu (unit)," ujar Kukuh dalam sebuah diskusi.
Selain penurunan penjualan, kebijakan ini juga akan berdampak pada produksi dan penyerapan tenaga kerja. Industri otomotif, yang mayoritas berlokasi di Jawa Barat, saat ini juga menghadapi tuntutan kenaikan UMR. Kombinasi faktor-faktor ini tentu akan semakin memberatkan industri.
"Ujung-ujungnya juga tenaga kerja yang kena. Kita tidak mau nasib kita seperti Thailand, padahal ada 1,5 juta orang yang bekerja di sektor ini," tambah Kukuh.
Kekhawatiran lain datang dari implementasi opsi pajak yang akan berlaku mulai 5 Januari 2025. Kebijakan ini memungkinkan pemerintah provinsi dan kabupaten/kota memungut pajak dari Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB).
Ketidakpastian mengenai implementasi di tingkat daerah menjadi momok bagi pelaku industri. Simulasi yang dilakukan Gaikindo menunjukkan bahwa kenaikan 1% opsi pajak dapat menurunkan penjualan hingga 10%. Jika kenaikannya mencapai 5%, penurunan penjualan bisa mencapai 23%.
"Ini di luar PPN tadi yang naik 1 persen ya," kata Kukuh.
Kenaikan PPN menjadi 12% sendiri akan mulai berlaku pada 1 Januari 2025. Kebijakan ini merupakan amanat dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
Mengingat besarnya dampak yang diprediksi, pelaku industri otomotif sangat berharap agar pemerintah mempertimbangkan ulang kebijakan-kebijakan tersebut. Jika tidak, industri ini terancam mengalami kemerosotan yang signifikan, yang pada akhirnya akan berdampak pada ekonomi dan penyerapan tenaga kerja di Indonesia.