Rencana pemerintah menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% pada 2025 memicu kekhawatiran di kalangan ekonom dan pelaku usaha. Bukan hanya kenaikan tarif sebesar 1%, kebijakan ini diperkirakan memiliki efek berlipat ganda yang membebani berbagai lapisan ekonomi, khususnya masyarakat kelas menengah.
Efek Berkelanjutan pada Rantai Pasokan
Kenaikan PPN tidak hanya berdampak langsung pada harga akhir barang dan jasa. Biaya produksi di berbagai sektor industri juga akan meningkat seiring kenaikan tarif ini. Dampaknya akan menjalar melalui rantai pasokan, sehingga pada akhirnya harga barang dan jasa naik lebih tinggi dari 1%.
"PPN memiliki efek pengganda. Kenaikan 1% tidak berarti biaya naik 1% saja, tetapi bisa lebih tinggi tergantung pada kompleksitas industri yang terpengaruh," ungkap Bob Azam, Wakil Presiden Direktur PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN).
Beban Ganda bagi Kelas Menengah
Kondisi ini menjadi masalah serius bagi kelas menengah yang menjadi motor konsumsi domestik. Pasca pandemi Covid-19, banyak masyarakat kelas menengah terpuruk ke kelas menengah bawah bahkan kategori miskin. Situasi ini diperparah oleh fokus bantuan sosial pemerintah yang lebih banyak menyasar kelompok miskin.
"Kelas menengah yang sudah tertekan ini akan semakin terbebani dengan kebijakan PPN," kata Bob.
Penurunan Daya Beli dan Kontraksi Ekonomi
Daya beli masyarakat yang melemah akan berdampak langsung pada sektor konsumsi, yang menyumbang sebagian besar pertumbuhan ekonomi. Sektor otomotif, misalnya, telah mengalami penurunan hingga 15% pada 2024 akibat permintaan yang lemah. Kenaikan biaya produksi akibat PPN yang lebih tinggi akan memperparah kondisi ini.
"Kenaikan PPN akan semakin menyulitkan pencapaian target pertumbuhan ekonomi 8% seperti yang dicanangkan pemerintah," ungkap Bob.
Kebijakan yang Tidak Tepat Waktu
Bob menyarankan agar pemerintah menunda rencana kenaikan PPN mengingat momentum saat ini tidak mendukung kebijakan yang bersifat kontraktif. Kenaikan tarif pajak tidak selalu berbanding lurus dengan peningkatan pendapatan negara, terutama jika ekonomi mengalami kontraksi.
"Ketika ekonomi melemah, pendapatan pajak justru bisa menurun. Ini akan lebih berbahaya bagi perekonomian," tegasnya.
Kebijakan Alternatif
Alih-alih menaikkan PPN, Bob merekomendasikan kebijakan yang mendukung investasi dan pertumbuhan. Relaksasi fiskal, menurutnya, lebih tepat untuk menjaga stabilitas pasar dibandingkan kebijakan yang berisiko memperburuk kontraksi ekonomi.
"Pertumbuhan ekonomi yang sehat akan menghasilkan pendapatan pajak yang lebih besar dalam jangka panjang," pungkasnya.
Oleh karena itu, pemerintah perlu mempertimbangkan dampak berlipat ganda dari kenaikan PPN dan mencari alternatif kebijakan yang lebih tepat sasaran untuk meningkatkan pendapatan negara tanpa mengorbankan kesejahteraan masyarakat dan pertumbuhan ekonomi.