Indonesia merupakan negara dengan potensi besar sebagai produsen energi terbarukan, salah satunya bioetanol. Bahan bakar alternatif ini menjadi solusi jitu dalam mengejar target Net Zero Emission (NZE) sekaligus mengurangi ketergantungan terhadap energi fosil yang sebagian besar diimpor.
Bioetanol sendiri telah masuk dalam peta jalan NZE pemerintah. Pakar teknik mesin dari Universitas Gadjah Mada, Prof. Deendarlianto, menyebutkan bahwa penggunaan biofuel di sektor transportasi ditargetkan mencapai 40%. Namun, hal ini perlu mempertimbangkan keseimbangan antara kebutuhan energi dan pangan.
"Membangun industri bioetanol membutuhkan ketersediaan bahan baku yang cukup. Pemerintah perlu belajar dari keberhasilan Brasil yang menggunakan tebu sebagai sumber bioetanol," ujar Deendarlianto.
Sementara itu, Energy Economist dari Economic Research Institute for ASEAN and East Asia (ERIA), Dr. Alloysius Joko Purwanto, menambahkan bahwa Indonesia memiliki potensi besar dalam mengembangkan bioetanol generasi kedua.
"Generasi kedua bioetanol memanfaatkan sumber daya yang berlimpah seperti shogum, tandan kosong sawit, dan gabah. Namun, teknologi yang dibutuhkan masih mahal dan masih dalam tahap penelitian," jelas Joko.
Meski menghadapi tantangan, potensi bioetanol di Indonesia sangat besar. Studi ERIA menunjukkan bahwa Indonesia memiliki potensi produksi bioetanol generasi kedua hingga 30 juta kilo liter.
"Jika potensi ini dapat dioptimalkan, Indonesia tidak hanya bisa memenuhi kebutuhan bahan bakar sendiri, tetapi juga dapat mengekspor bioetanol ke negara lain," pungkas Joko.
Pemerintah perlu mengambil langkah strategis untuk mendorong pengembangan industri bioetanol. Hal ini meliputi dukungan penelitian dan pengembangan, insentif bagi investor, serta penerapan standar dan regulasi yang sesuai. Dengan demikian, Indonesia dapat memanfaatkan potensi bioetanol sebagai energi terbarukan yang ramah lingkungan dan berkontribusi pada perekonomian nasional.