Indonesia saat ini berada di ambang bahaya akibat terlambatnya pembahasan pembatasan penjualan dan produksi kendaraan berbahan bakar fosil (ICE) atau mobil dan sepeda motor bakar. Padahal, negara-negara tetangga di Asia Tenggara (ASEAN), seperti Malaysia dan Thailand, telah menetapkan target waktu yang jelas untuk beralih dari ICE ke kendaraan listrik.
Menurut Rachmat Kaimuddin, Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur & Transportasi Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman, Indonesia berisiko menjadi "penampung" kendaraan ICE jika tidak segera menetapkan batas waktu. Pasalnya, Indonesia masih menjadi salah satu dari sedikit negara yang belum memiliki kebijakan yang jelas mengenai transisi energi di sektor transportasi.
Selain itu, Indonesia juga dapat kehilangan pangsa pasar ekspornya karena semakin sedikit negara yang menerima mobil ICE. Mobil buatan dalam negeri yang saat ini telah diekspor ke 90 negara, termasuk Australia, terancam kehilangan daya saing jika Indonesia tertinggal dalam adopsi kendaraan ramah lingkungan.
"Dengan target mencapai netralitas karbon pada 2060, pembatasan mobil ICE di Indonesia sepertinya bisa dimulai pada 2045," jelas Kaimuddin. Hal ini berdasarkan perhitungan logis bahwa transisi dari kendaraan rendah emisi ke nol emisi membutuhkan waktu setidaknya 15 tahun.
"Paling lambat 2045 semua kendaraan baru harus zero emission vehicle," tegas Kaimuddin.
Keterlambatan Indonesia dalam pembatasan kendaraan berbahan bakar fosil dapat berdampak buruk pada lingkungan dan perekonomian negara. Polusi udara dari kendaraan ICE merupakan salah satu penyumbang utama polusi udara di kota-kota besar seperti Jakarta. Selain itu, impor bahan bakar fosil juga menguras devisa negara dan memperburuk ketergantungan Indonesia pada sumber daya alam yang tidak terbarukan.
Pemerintah diharapkan segera mengambil langkah tegas untuk mempercepat transisi ke kendaraan ramah lingkungan. Pembatasan penjualan dan produksi kendaraan ICE secara bertahap, insentif untuk pembelian kendaraan listrik, dan pengembangan infrastruktur pendukung seperti stasiun pengisian daya sangat diperlukan untuk mendorong adopsi kendaraan listrik di Indonesia.
Jika Indonesia tidak segera bertindak, kita akan tertinggal jauh dari negara-negara lain dalam peralihan ke energi bersih. Selain berdampak negatif bagi lingkungan dan perekonomian, hal ini juga dapat menurunkan daya saing Indonesia di pasar global.