Jakarta – Euforia libur Lebaran seolah hanya mimpi. Kendaraan bermotor kembali membanjiri jalanan ibu kota dalam beberapa hari terakhir, dan dampaknya langsung terasa pada kualitas udara. Titik-titik kemacetan mulai mengular di berbagai wilayah, dari Jakarta Pusat hingga Jakarta Timur.
Pantauan lapangan menunjukkan, kawasan Kuningan, Tebet, Kebayoran, TB Simatupang, dan sepanjang Kalimalang arah Cawang mengalami kepadatan lalu lintas yang signifikan. Kemacetan tahun ini bahkan terasa lebih awal dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, diduga akibat penurunan jumlah pemudik.
Ironisnya, saat hari pertama dan kedua Lebaran, kualitas udara Jakarta sempat menunjukkan perbaikan yang menggembirakan. Warna langit yang biru dan jarak pandang yang jelas memberikan harapan akan udara yang lebih bersih. Beberapa pihak bahkan membandingkan kualitas udara Jakarta saat itu dengan Singapura.
Namun, harapan itu sirna dengan cepat. Data terkini menunjukkan bahwa kualitas udara Jakarta telah anjlok drastis. Pada Sabtu pagi, indeks kualitas udara (AQI) menembus angka 152, dengan status "tidak sehat" dan indikator berwarna merah. Data yang diambil pukul 09.00 WIB tersebut menempatkan Jakarta sebagai salah satu kota dengan kualitas udara terburuk di dunia.
Di beberapa lokasi, seperti Semanggi dan Kebon Jeruk, kondisi lebih memprihatinkan dengan AQI mencapai 180. Masyarakat diimbau untuk menghindari aktivitas di luar ruangan, menutup jendela, mengenakan masker, dan menggunakan penyaring udara di dalam ruangan.
Lantas, apa yang menjadi penyebab utama penurunan kualitas udara ini?
Hasil studi komprehensif yang melibatkan berbagai pihak menunjukkan bahwa kendaraan bermotor masih menjadi kontributor utama polusi udara di Jakarta. Emisi kendaraan bermotor menyumbang 32-41 persen polusi udara saat musim hujan, dan melonjak menjadi 42-57 persen saat musim kemarau. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan kontribusi pembakaran batu bara untuk industri dan pembangkit listrik yang hanya sekitar 14 persen. Data ini dikumpulkan dari sampel di tiga titik di Jakarta.
Kondisi ini kembali mengingatkan kita akan pentingnya upaya pengendalian emisi kendaraan bermotor. Pemerintah dan masyarakat perlu bekerja sama untuk mencari solusi jangka panjang, seperti mendorong penggunaan transportasi publik, mengembangkan kendaraan listrik, dan memperketat uji emisi kendaraan. Jika tidak, Jakarta akan terus bergelut dengan masalah polusi udara yang mengancam kesehatan warganya.