Jakarta – Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) mengambil sikap tegas terkait polemik bonus hari raya (BHR) atau yang kerap disebut THR bagi pengemudi ojek online (ojol). Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Yassierli berencana memanggil perusahaan aplikator raksasa seperti Gojek dan Grab untuk meminta klarifikasi terkait nominal BHR yang dinilai tidak sesuai harapan.
Rencana pemanggilan ini muncul setelah gelombang protes dari para pengemudi ojol dan asosiasi terkait mengenai besaran BHR yang dianggap tidak manusiawi. Sebagian besar pengemudi dilaporkan hanya menerima Rp 50 ribu, angka yang jauh dari ekspektasi mengingat kontribusi mereka terhadap perusahaan.
"Kita akan panggil aplikator untuk meminta penjelasan terkait kriteria dan besaran BHR yang diberikan. Tantangannya adalah bagaimana perusahaan aplikator ini mengkategorikan pengemudi di luar kriteria yang dianggap berkinerja baik, dan besaran berapa yang seharusnya mereka terima. Ini yang perlu kita klarifikasi," ujar Yassierli.
Meski belum dapat memastikan tanggal pasti pertemuan tersebut, Menaker berharap agenda ini dapat terlaksana sebelum Hari Raya Lebaran. Ia menyadari bahwa inisiatif BHR untuk ojol ini baru pertama kali diadakan, sehingga persiapan masih terbatas.
"Saya tidak bisa janji (kapan pertemuan), karena ini juga sifatnya imbauan kepada mereka," imbuhnya.
Kritik terhadap besaran BHR juga datang dari berbagai asosiasi ojol. Ketua Umum Garda Indonesia, Raden Igun Wicaksono, mengecam aplikator yang dianggap melakukan "akal-akalan" dan menipu Presiden RI dengan memberikan BHR yang jauh dari kata layak.
"Rata-rata nilai BHR yang diterima ojol sebagian besar Rp 50 ribu. Banyak dari rekan-rekan ojol yang sudah menjadi ojol di satu platform aplikator lebih dari 5 tahun, namun tetap saja hanya terima Rp 50 ribu," ungkap Igun.
Senada dengan Igun, Ketua Umum SPAI, Lily Pujiati, menilai nominal BHR yang diberikan sangat tidak pantas. Ia juga menyoroti kriteria atau syarat yang dinilai tidak adil, mengingat sepinya orderan ojol disebabkan oleh berbagai skema prioritas yang diterapkan aplikator.
"SPAI menolak pembayaran THR Ojol yang tidak manusiawi. Nilai THR Ojol tersebut tidak sesuai dengan pernyataan Presiden mengenai kontribusi pengemudi ojol yang sudah menghasilkan keuntungan selama ini," tegas Lily.
Polemik BHR ini menyoroti kembali isu kemitraan antara pengemudi ojol dan perusahaan aplikator. Status pengemudi ojol sebagai mitra kerja seringkali menjadi celah bagi perusahaan untuk menghindari kewajiban layaknya karyawan tetap, termasuk dalam hal pemberian THR. Langkah Kemenaker untuk memanggil perusahaan aplikator diharapkan dapat memberikan titik terang dan solusi yang adil bagi kedua belah pihak.