Jakarta – Rencana pemerintah memperpanjang pembatasan operasional truk selama masa mudik Lebaran 2025 menuai protes keras dari kalangan pengusaha truk. Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo) DKI Jakarta bahkan mengancam akan melakukan aksi stop operasi pada 20-21 Maret 2025 sebagai bentuk penolakan terhadap kebijakan tersebut.
Pemicunya adalah Surat Keputusan Bersama (SKB) yang mengatur pembatasan angkutan barang mulai 24 Maret hingga 8 April 2025, atau selama 16 hari. Durasi ini dianggap terlalu lama dibandingkan tahun-tahun sebelumnya yang hanya berkisar 10-12 hari.
"Keputusan ini tidak mempertimbangkan masukan dari para pelaku usaha angkutan barang mengenai dampak lamanya pembatasan," ungkap sumber internal Aptrindo yang enggan disebutkan namanya.
Kebijakan ini diperkirakan akan mengganggu kelancaran distribusi logistik, terutama di tengah meningkatnya kebutuhan masyarakat menjelang dan selama Lebaran. Namun, dampak yang lebih besar dirasakan oleh para sopir truk.
Djoko Setijowarno, pengamat transportasi dari Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), menyoroti kesejahteraan sopir truk yang seringkali terabaikan. "Jangankan THR, mau bekerja mencari pendapatan untuk keluarga jelang mudik saja dibatasi," ujarnya.
Djoko mengkritik kurangnya sosialisasi kebijakan ini. Ia menyarankan agar pengumuman pembatasan dilakukan setidaknya sebulan sebelumnya agar pengusaha dapat mengatur jadwal operasional armada mereka. Ia juga berpendapat bahwa masa pelarangan tidak perlu terlalu lama, maksimal 10 hari, asalkan pemerintah fokus membenahi angkutan umum di daerah dan memaksimalkan moda transportasi alternatif seperti kereta api dan angkutan air.
Selain itu, Djoko menyinggung masalah krusial lainnya, yaitu kesejahteraan sopir truk yang seringkali terabaikan akibat persaingan tarif dan praktik truk over dimension over load (ODOL). Data dari Kementerian Perhubungan menunjukkan bahwa penghasilan rata-rata sopir truk masih di bawah upah minimum regional (UMR).
"Logistik sembako seluruh masyarakat Indonesia diangkut menggunakan truk atas jasa sopir truk. Namun, hingga sekarang perhatian pemerintah terhadap kesejahteraan sopir truk sangat minim. Standar minimum upah pengemudi truk belum dituntaskan oleh Kementerian Tenaga Kerja," tegas Djoko.
Pemerintah diharapkan segera mengambil langkah-langkah mediasi untuk mencari solusi terbaik bagi semua pihak. Kompromi yang adil antara kepentingan kelancaran arus mudik, kelancaran distribusi logistik, dan kesejahteraan para sopir truk adalah kunci untuk menghindari mogok massal yang dapat merugikan banyak pihak. Salah satu solusi yang diusulkan adalah mengabulkan permintaan Aptrindo dengan syarat penegakan hukum yang tegas terhadap truk ODOL.