Jakarta – Polemik seputar status mitra pengemudi (driver ojol) dan desakan pemberian Tunjangan Hari Raya (THR) kembali mencuat. Isu ini menjadi krusial di tengah perkembangan pesat ekonomi digital Indonesia. Status kemitraan yang melekat pada driver ojol menjadi sorotan, terutama terkait hak-hak pekerja, termasuk THR.

Regulasi yang ada saat ini, khususnya Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 12 Tahun 2019, menegaskan status mitra, bukan pekerja formal, bagi para driver. Namun, di sisi lain, muncul dorongan kuat untuk memberikan perlindungan sosial, menciptakan inkonsistensi kebijakan yang membingungkan.

"Ini adalah masalah kompleks. Di satu sisi, kita memahami keinginan driver untuk mendapatkan THR sebagai bentuk apresiasi atas kerja keras mereka. Di sisi lain, kita terikat pada regulasi yang mendefinisikan mereka sebagai mitra," ujar pengamat kebijakan publik, Bambang Susilo, Rabu (12/3/2025).

Status Kemitraan, Bukan Pekerja?

Untuk memahami dilema ini, penting untuk melihat definisi pekerja formal. Tiga unsur utama yang mendefinisikan hubungan kerja adalah pekerjaan, perintah, dan upah. Dalam konteks driver ojol, unsur-unsur ini cenderung kabur.

Driver bekerja secara mandiri, tanpa instruksi langsung dari perusahaan platform. Penghasilan mereka pun berbasis bagi hasil, bukan gaji tetap. Kondisi ini lebih mengarah pada kemitraan, bukan hubungan kerja formal.

Pakar Hukum Perburuhan, Dr. Ratna Dewi, menjelaskan bahwa pemberian THR, yang diatur dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 6 Tahun 2016, hanya berlaku bagi pekerja dengan hubungan kerja formal.

"Memaksakan pemberian THR pada mitra pengemudi akan menimbulkan masalah hukum. Regulasi harus dihormati, dan kita tidak bisa membuat aturan yang bertentangan dengan hukum yang sudah ada," tegasnya.

Jalan Tengah: Insentif dan Perlindungan Sosial

Lantas, bagaimana solusinya? Pemerintah perlu mengambil langkah konkret untuk meningkatkan kesejahteraan driver ojol tanpa melanggar regulasi yang ada. Pemberian insentif berbasis kinerja, akses pembiayaan yang lebih mudah, dan program perlindungan sosial yang komprehensif bisa menjadi alternatif yang lebih realistis.

"Kita bisa belajar dari negara lain yang berhasil menerapkan skema perlindungan sosial bagi pekerja gig. Yang penting adalah dialog yang melibatkan semua pihak, termasuk perwakilan driver, perusahaan platform, dan pemerintah," kata Bambang Susilo.

Ketidakpastian hukum terkait status driver ojol dapat menghambat investasi dan inovasi di sektor ekonomi digital. Jika masalah ini terus berlarut-larut, bukan tidak mungkin perusahaan dan talenta digital akan mencari peluang di negara lain yang lebih ramah terhadap industri gig.

Pemerintah diharapkan segera mengambil tindakan tegas dan konsisten untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif dan melindungi hak-hak para pekerja di era digital. Solusi yang bijak dan berkelanjutan akan menjaga daya saing Indonesia di kancah global.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini