Ambisi Indonesia untuk mengurangi ketergantungan pada Bahan Bakar Minyak (BBM) fosil melalui pengembangan bioetanol, bahan bakar nabati yang bersumber dari tanaman, menghadapi tantangan serius. Potensi besar yang dimiliki negeri ini, dengan sumber daya melimpah untuk produksi bioetanol, justru terancam terhambat oleh tingginya angka ekspor bahan baku.
Ketua Asosiasi Produsen Spiritus dan Etanol Indonesia (APSENDO), Izmirta Rachman, mengungkapkan ironi ini. Menurutnya, dari potensi produksi 1,6 juta ton molasses (tetes tebu), sebagai bahan baku utama bioetanol, sebagian besar justru diekspor. "Di tahun 2023, sekitar 819 ribu ton molasses, atau sekitar 50 persen dari total produksi, diekspor," ujarnya. Kondisi ini menyebabkan pemanfaatan bioetanol dalam negeri masih sangat minim, jauh dari potensi yang ada.
Penyebab utama masalah ini adalah belum adanya regulasi yang memprioritaskan pemanfaatan molasses untuk hilirisasi dalam negeri. Negara-negara lain, seperti Thailand dan India, menerapkan bea keluar yang tinggi untuk ekspor molasses, sehingga mendorong industri bioetanol dalam negeri mereka. "Thailand dan India mengenakan bea keluar 50 persen. Saatnya Indonesia menggunakan tetes untuk hilirisasi atau domestic market obligation untuk kepentingan energi," tegas Rachman.
Padahal, mandatory pemanfaatan bioetanol sebagai campuran bahan bakar kendaraan sudah menjadi tren global. Thailand, misalnya, telah lama menerapkan program "gasohol" dengan berbagai tingkatan campuran etanol dan bensin, mulai dari E10 hingga E85. Sementara itu, Indonesia baru menargetkan konsumsi campuran bensin dan etanol 10 persen (E10) mulai tahun 2029.
Selain masalah bahan baku, pengembangan bioetanol generasi kedua, yang memanfaatkan limbah biomassa lignoselulosa, juga menghadapi kendala. Ahli Proses Konversi Biomassa Institut Teknologi Bandung (ITB), Ronny Purwadi, menjelaskan bahwa biaya produksi bioetanol generasi kedua masih tinggi, terutama karena harga enzim yang diperlukan untuk proses konversi biomassa menjadi glukosa masih mahal. "Enzim ini mahal, dan produsennya terbatas di dunia, sehingga mereka bisa sangat politis dalam memberikan itu," ujarnya.
Untuk mengatasi berbagai tantangan ini, diperlukan dukungan penuh dari pemerintah. Rachman berharap pemerintah dapat segera menerbitkan regulasi yang mengatur insentif, harga, dan potensi pengurangan biaya produksi bioetanol.
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, Eniya Listiani Dewi, menyatakan bahwa pihaknya sedang mengusulkan penerbitan mandatory bioetanol. "Nanti akan dibuat bagaimana skemanya, tata kelolanya, apakah ada insentifnya, bagaimana masalah cukai," ungkapnya.
Meskipun menghadapi berbagai kendala, Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi pemain utama dalam industri bioetanol. Dengan kapasitas produksi bioetanol saat ini mencapai 60 ribu kiloliter per tahun, Indonesia memiliki modal yang cukup untuk mengembangkan industri ini lebih lanjut.
Pertanyaannya, mampukah pemerintah mengambil langkah-langkah strategis untuk mengatasi hambatan yang ada dan mewujudkan ambisi Indonesia untuk menjadi negara mandiri energi dengan memanfaatkan potensi bioetanol yang melimpah? Jika tidak, potensi besar ini hanya akan menjadi mimpi yang tak terwujud, dan Indonesia akan terus bergantung pada impor BBM fosil.