Jakarta – Wacana pejabat publik menggunakan transportasi umum kembali mencuat. Dorongan ini bukan hanya soal efisiensi dan pengurangan kemacetan, tetapi juga tentang membangun empati dan kesadaran akan realita yang dihadapi masyarakat sehari-hari. Namun, benarkah inisiatif ini murni demi kepentingan publik, atau justru menjadi ajang pencitraan semata?

Baru-baru ini, Wakil Menteri Dalam Negeri (Wamendagri) Bima Arya Sugiarto mencoba langsung menggunakan KRL dari Bogor ke kantornya di Jakarta. Pengalaman tersebut dibagikan melalui akun media sosialnya, lengkap dengan rincian waktu dan biaya yang dikeluarkan. Aksi ini menuai beragam komentar, mulai dari apresiasi hingga sinisme.

Pengamat kebijakan publik, Amir Machmud, berpendapat bahwa langkah pejabat menggunakan transportasi umum perlu dilihat secara lebih luas. "Ini bukan hanya soal mencoba pengalaman orang lain. Yang lebih penting adalah bagaimana pengalaman itu diterjemahkan menjadi kebijakan yang berpihak pada pengguna transportasi umum," ujarnya.

Amir menambahkan, seringkali kebijakan transportasi publik disusun tanpa memahami betul kebutuhan dan keluhan pengguna. Dengan merasakan langsung pengalaman menggunakan transportasi umum, pejabat diharapkan dapat lebih peka terhadap masalah-masalah seperti kepadatan penumpang, keterlambatan, keamanan, dan kenyamanan.

Namun, ia juga mengingatkan bahwa satu kali mencoba bukanlah jaminan. "Perlu ada komitmen berkelanjutan. Bukan sekadar simbolik, tapi benar-benar menjadi bagian dari gaya hidup dan dasar pengambilan kebijakan," tegasnya.

Di sisi lain, pakar komunikasi politik, Rini Pramono, menyoroti potensi pencitraan dalam aksi pejabat menggunakan transportasi umum. "Di era media sosial, segala sesuatu bisa dipoles dan dipublikasikan. Masyarakat perlu cerdas membedakan mana yang tulus, mana yang sekadar mencari popularitas," katanya.

Rini menyarankan agar pejabat fokus pada perbaikan sistem transportasi publik secara menyeluruh. "Jangan hanya naik KRL sekali lalu merasa sudah dekat dengan rakyat. Yang lebih penting adalah bagaimana membuat KRL menjadi lebih nyaman, aman, dan terjangkau bagi semua kalangan," imbuhnya.

Peningkatan kualitas transportasi publik, menurut Rini, adalah kunci utama mendorong masyarakat untuk beralih dari kendaraan pribadi. "Jika transportasi publiknya nyaman dan terintegrasi dengan baik, masyarakat dengan sendirinya akan memilih menggunakan transportasi umum," pungkasnya.

Dengan demikian, tantangan bagi para pejabat publik adalah membuktikan bahwa penggunaan transportasi umum bukan sekadar aksi sesaat, melainkan bagian dari komitmen untuk melayani masyarakat dengan lebih baik. Kebijakan yang pro-rakyat dan peningkatan kualitas layanan transportasi publik adalah bukti nyata yang lebih dibutuhkan daripada sekadar unggahan di media sosial.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini