Jakarta – Wacana pejabat publik menggunakan transportasi umum kembali mencuat. Meskipun sejumlah menteri menyatakan kesiapan atau bahkan pengakuan sudah terbiasa dengan angkutan massal, realitasnya masih jarang terlihat pejabat yang benar-benar rutin melakukannya. Apa sebenarnya yang menjadi penghalang?

Pengamat kebijakan publik, Trubus Rahadiansyah, menilai bahwa tantangan utama bukan pada kesediaan individu pejabat, melainkan pada sistem dan budaya yang sudah terlanjur melekat. "Ada faktor keamanan, efisiensi waktu, dan juga soal citra. Pejabat kita masih terikat dengan protokoler dan ekspektasi publik yang melihat jabatan sebagai simbol status," ujarnya saat dihubungi, Kamis (16/5/2024).

Trubus menambahkan, penggunaan transportasi umum oleh pejabat, jika dilakukan secara konsisten, dapat memberikan dampak positif yang signifikan. Selain mengurangi kemacetan dan polusi, hal ini juga dapat meningkatkan legitimasi pemerintah di mata masyarakat. "Ketika pejabat merasakan langsung apa yang dirasakan rakyat, kebijakan yang dibuat akan lebih relevan dan tepat sasaran," tegasnya.

Beberapa menteri pun memberikan tanggapan beragam terkait wacana ini. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia, misalnya, mengaku tak canggung dengan transportasi umum karena pengalamannya sebagai sopir angkot di masa lalu. "Saya sudah khatam soal angkot. Nggak perlu diajarin lagi," selorohnya.

Sementara itu, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid justru lebih memilih menggunakan sepeda motor jika tujuannya adalah menghilangkan pengawalan. "Naik motor lebih cepat dan praktis. Kalau perlu, jalan kaki sekalian kalau jaraknya dekat," kata Nusron.

Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Zulkifli Hasan mengakui bahwa penggunaan transportasi umum tidak selalu memungkinkan, terutama saat jadwalnya padat. "Kalau lagi buru-buru, ya terpaksa pakai mobil dinas dengan pengawalan. Bukan buat gaya-gayaan, tapi demi efisiensi waktu," jelasnya.

Menanggapi hal ini, Trubus Rahadiansyah berpendapat bahwa perlu ada perubahan paradigma di kalangan pejabat publik. "Bukan hanya sekadar ikut-ikutan naik transportasi umum sekali-sekali, tapi harus ada komitmen yang berkelanjutan. Misalnya, menetapkan satu hari dalam seminggu sebagai ‘hari transportasi umum’ bagi seluruh pejabat," usulnya.

Ia juga menekankan pentingnya peningkatan kualitas dan aksesibilitas transportasi umum. "Percuma kalau pejabatnya mau naik transportasi umum, tapi fasilitasnya tidak memadai, tidak aman, atau tidak nyaman. Pemerintah harus berinvestasi lebih banyak untuk meningkatkan infrastruktur transportasi publik," pungkasnya.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini