Jakarta – Sorotan tajam kembali mengarah pada gaya hidup para pejabat publik di Indonesia. Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) dengan lantang menyuarakan agar para pemangku kebijakan tidak lagi melulu mengandalkan fasilitas mewah seperti mobil dinas dan pengawalan patwal yang kerap memicu kecemburuan sosial. Sebaliknya, mereka didorong untuk merasakan langsung denyut nadi kehidupan masyarakat dengan menggunakan transportasi umum.
Tory Damantoro, Ketua Umum MTI, menekankan bahwa kota adalah ruang hidup bersama. Memprioritaskan diri sendiri dengan pengawalan patwal di tengah kemacetan, menurutnya, sama saja dengan menciptakan ketidakadilan. "Filosofinya hidup di kota itu adalah hidup bersama, karena orangnya banyak. Kalau semuanya meminta diprioritaskan akan terjadi kecemburuan sosial," ujarnya.
MTI mengusulkan pembatasan penggunaan patwal hanya untuk pejabat tinggi negara seperti Presiden dan Wakil Presiden. Untuk pejabat lainnya, MTI menilai penggunaan transportasi umum adalah solusi yang lebih bijak. Djoko Setijowarno, Wakil Ketua MTI Pusat, menyoroti bahwa layanan transportasi umum di Jakarta kini sudah sangat memadai.
"Ketersediaan layanan angkutan umum di Jakarta sudah sedemikian merata, tidak jauh berbeda dengan kota dunia lainnya yang masyarakat dan pejabat sudah terbiasa menggunakan angkutan umum," jelas Djoko. "Setiap keluar dari hunian di Jakarta, tidak sampai 500 meter kita dipastikan mendapatkan halte atau bus stop angkutan umum."
Djoko juga menambahkan bahwa berbagai moda transportasi umum sudah tersedia di Jakarta, mulai dari ojek, bajaj, mikrolet, bus, KRL, LRT, hingga MRT. Ini menunjukkan bahwa infrastruktur transportasi umum sudah siap untuk menampung semua lapisan masyarakat, termasuk para pejabat.
Lebih jauh lagi, MTI menekankan pentingnya pejabat publik merasakan langsung pengalaman menggunakan transportasi umum. Minimal sekali dalam seminggu, para pejabat didorong untuk berbaur dengan masyarakat dan melihat langsung realitas yang mereka hadapi sehari-hari.
"Semestinya, pejabat negara membiasakan menggunakan angkutan umum, minimal sekali seminggu. Dengan bercampur dengan masyarakat umum akan mengetahui kondisi sebenarnya kehidupan masyarakat," kata Djoko.
Langkah ini bukan hanya sekadar soal efisiensi transportasi, tetapi juga tentang membangun koneksi antara pejabat publik dengan masyarakat yang mereka wakili. Dengan mengalami sendiri kesulitan dan tantangan yang dihadapi masyarakat dalam mobilitas sehari-hari, diharapkan para pejabat dapat membuat kebijakan yang lebih berpihak pada kepentingan publik.
Usulan MTI ini bukan tanpa alasan. Keterpisahan antara pejabat dan masyarakat akibat gaya hidup eksklusif seringkali menimbulkan kesenjangan pemahaman. Dengan menggunakan transportasi umum, pejabat akan lebih peka terhadap dinamika sosial dan mampu merumuskan solusi yang tepat sasaran.
Pertanyaannya sekarang, mampukah para pejabat publik di Indonesia meninggalkan zona nyaman dan mulai merasakan kerasnya jalanan bersama masyarakat? Hanya waktu yang bisa menjawab. Namun, desakan dari MTI ini jelas merupakan sinyal kuat bahwa perubahan gaya hidup pejabat publik adalah keniscayaan untuk membangun Indonesia yang lebih adil dan merata.