Jakarta – Di tengah hiruk pikuk kemacetan jalanan ibu kota, pemandangan kendaraan pejabat dengan pelat khusus dan iring-iringan patwal seolah menjadi hal yang lumrah. Fasilitas "wah" ini, dari pengawalan hingga prioritas jalan, menjadi pemandangan kontras dengan keseharian masyarakat umum yang bergelut dengan kemacetan. Ironisnya, di saat fasilitas transportasi publik kian berkembang, para pejabat justru jarang terlihat memanfaatkannya.

Djoko Setijowarno, pengamat transportasi dari Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), mengkritik keras fenomena ini. Menurutnya, fasilitas patwal semestinya hanya diperuntukkan bagi Presiden dan Wakil Presiden. "Setiap hari ada lebih dari 100 kendaraan yang dikawal polisi, ini hanya membuat jalanan makin macet dan menambah stres pengguna jalan lainnya," ujarnya. Ia menekankan bahwa jalan dibangun dari pajak masyarakat dan seharusnya dinikmati oleh semua, kecuali kendaraan tertentu sesuai undang-undang.

Djoko juga menyoroti kurangnya teladan dari para pejabat dalam menggunakan transportasi publik. Ia mempertanyakan kemauan para pejabat, khususnya di Jakarta, untuk ikut berdesak-desakan dan merasakan langsung kondisi yang dialami masyarakat setiap hari. Padahal, menurutnya, Jakarta sudah memiliki jaringan transportasi yang memadai, mulai dari ojek, bajaj, mikrolet, bus, KRL, LRT hingga MRT. "Setiap keluar rumah, tidak sampai 500 meter, kita pasti menemukan halte atau bus stop," katanya, menegaskan ketersediaan transportasi publik di Jakarta sudah setara dengan kota-kota besar dunia.

Lebih lanjut, Djoko berpendapat bahwa pejabat negara sebaiknya membiasakan diri menggunakan transportasi publik, minimal seminggu sekali. Dengan berinteraksi langsung dengan masyarakat, mereka akan lebih memahami kondisi dan kebutuhan riil. "Ini hal yang langka di Indonesia, menemukan pejabat yang mau setiap hari menggunakan transportasi umum," imbuhnya.

Perbandingan dengan negara lain seperti Swedia pun tak terhindarkan. Di Swedia, para politisi tidak mendapatkan fasilitas mewah seperti mobil dinas atau sopir pribadi. Mereka terbiasa menggunakan transportasi publik bersama warga negara. "Sayalah yang membayar para politisi. Dan saya tidak melihat alasan untuk memberi mereka kehidupan yang mewah," kata seorang warga Swedia, mencerminkan pandangan masyarakat di sana.

Bahkan, politisi Swedia yang menggunakan taksi dengan uang rakyat akan menjadi berita utama, menunjukkan betapa transparannya penggunaan anggaran di sana. Hanya Perdana Menteri yang mendapatkan fasilitas mobil dari pasukan keamanan.

Di Indonesia, situasinya sangat berbeda. Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 1980 mengatur fasilitas kendaraan dinas untuk para menteri. Terbaru, PMK 138 tahun 2024 bahkan mengatur standar kendaraan dinas hingga 2 unit untuk menteri dan 1 unit untuk wakil menteri. Aturan-aturan ini seolah membenarkan fasilitas mewah yang diterima para pejabat, dan semakin mempertegas jarak mereka dengan realita masyarakat.

Kritik dan perbandingan dengan negara lain ini seharusnya menjadi refleksi bagi para pejabat di Indonesia. Apakah fasilitas mewah yang mereka nikmati sebanding dengan pelayanan yang mereka berikan kepada masyarakat? Kapan para pejabat Indonesia akan memberikan contoh nyata dengan menggunakan transportasi publik dan merasakan langsung denyut nadi kehidupan masyarakat? Pertanyaan ini patut direnungkan, demi terciptanya kepemimpinan yang lebih peka dan dekat dengan rakyat.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini