Kebijakan jalan tol di Malaysia tampaknya berbeda jauh dengan Indonesia. Jika di tanah air, sepeda motor dilarang keras melintas di jalan bebas hambatan, negeri jiran justru membebaskan kendaraan roda dua ini untuk mengakses jalan tol tanpa dipungut biaya. Fenomena ini memunculkan pertanyaan besar, mengapa Malaysia mengambil langkah yang terkesan kontradiktif ini?
Berdasarkan penelusuran, kebijakan motor boleh masuk tol di Malaysia bukanlah keputusan baru. Justru sebaliknya, tradisi ini sudah mengakar sejak awal jalan tol diperkenalkan di negara tersebut. Ini berarti, sejak awal pembangunan jalan tol, motor sudah dianggap sebagai salah satu moda transportasi yang berhak memanfaatkan fasilitas tersebut. Akibatnya, upaya untuk membalikkan kebijakan ini menjadi sangat sulit secara politik dan sosial. Masyarakat telah terbiasa dengan kebebasan ini, dan perubahan mendadak dapat menimbulkan gejolak.
Yang menarik, tidak ada pembatasan kapasitas mesin bagi sepeda motor yang boleh melintas. Baik motor matic kecil hingga moge (motor gede) sama-sama diperbolehkan masuk tol secara gratis. Hal ini menunjukkan betapa inklusifnya kebijakan tersebut, meskipun berpotensi menimbulkan masalah keamanan.
Namun, dibalik kebebasan itu, terdapat sebuah ironi. Meski kebijakan motor masuk tol dianggap sudah mengakar dan sulit diubah, banyak pihak yang menyadari bahwa ini bukanlah solusi yang ideal. Direktur Malaysian Institute of Road Safety Research (MIROS) sendiri secara terbuka mengakui bahwa kebijakan ini tidak aman.
Sepeda motor, dengan karakternya yang membutuhkan keseimbangan, sangat rentan terhadap risiko kecelakaan di jalan tol dengan kecepatan tinggi. Keseimbangan mudah hilang, dan jika terjadi insiden, risiko cedera yang dialami pengendara motor jauh lebih besar dibandingkan dengan pengendara mobil. Meski menggunakan helm dan peralatan keselamatan lainnya, tetap saja risiko fatal masih mengintai.
Kebijakan ini menghadirkan dilema besar. Di satu sisi, pemerintah Malaysia sulit menarik kebijakan yang sudah lama berlaku. Di sisi lain, keselamatan pengendara motor menjadi taruhan. Pertanyaan besarnya, apakah kenyamanan dan kebebasan berkendara di jalan tol sebanding dengan risiko keselamatan yang harus ditanggung?
Hal ini menjadi pengingat bahwa setiap kebijakan lalu lintas memiliki konsekuensinya masing-masing. Malaysia, dengan kebijakannya yang unik ini, menawarkan sebuah studi kasus yang menarik tentang bagaimana sejarah, kebiasaan, dan keamanan dapat saling bertentangan dalam suatu kebijakan. Ke depan, mungkin perlu adanya kajian lebih mendalam tentang bagaimana menyeimbangkan antara kebutuhan mobilitas dan keselamatan pengguna jalan, khususnya para pengendara sepeda motor.