Jalur Alas Roban, sebuah nama yang mengukir memori bagi banyak orang, terutama mereka yang kerap melakukan perjalanan mudik sebelum era Tol Trans Jawa. Jalanan yang dulunya menjadi urat nadi penghubung antarkota ini, kini menyimpan cerita tentang perjuangan, kesabaran, dan tentu saja, kenangan manis.

Dulu, sebelum tol membentang, Alas Roban menjadi momok sekaligus teman setia para pemudik. Macet panjang, istirahat di bawah rindangnya pohon jati, menjadi pemandangan yang akrab. Kini, ada tiga jalur alternatif yang bisa dipilih: Jalan Poncowati yang merupakan jalur lama, Jalan Lingkar Selatan, dan Jalan Pantura.

Jalan Poncowati, dengan ciri khasnya yang sempit, menanjak, dan berkelok-kelok, menjadi jalur utama bagi kendaraan besar seperti truk dan bus. Jalur ini menguji kesabaran pengemudi, terutama di musim mudik, di mana perjalanan bisa molor hingga berjam-jam. Ibrahim, seorang pemudik, masih mengingat betul betapa lamanya perjalanan dari Depok ke Tawangmangu melalui jalur ini. "Dulu mah bisa 24 jam kalau lagi musim lebaran," ujarnya.

Kisah serupa juga dialami Wisnu, yang mudik dari Cileungsi ke Pati dan Blitar. "Inget aja dulu, memori pas mudik dulu lewat sini. Macet-macetan. Terus istirahat di bawah pohon jati, gelar tiker," kenangnya.

Di sisi lain, Jalan Pantura menjadi pilihan bagi kendaraan kecil dan roda dua. Jalur ini relatif lebih aman dengan kontur jalan yang lebih landai. Namun, di malam hari, minimnya penerangan dan lubang jalan yang mengintai membuat jalur ini tetap menyimpan risiko.

Sejarah mencatat, jalur Alas Roban sudah ada sejak zaman pemerintahan Hindia Belanda. Jalan ini merupakan bagian dari Jalan Raya Pos yang dibangun oleh Herman Willem Daendels. Pembangunan jalan ini membelah hutan jati, menyesuaikan dengan kontur alam Alas Roban yang berbukit dan berkelok.

Pembangunan dua jalur baru di sisi utara dan selatan jalan lama pada era 1990-an hingga 2000-an, yang memangkas sekitar 19 hektar hutan Alas Roban, merupakan upaya untuk mengurai kepadatan lalu lintas. Namun, tetap saja, kenangan akan kemacetan dan hiruk pikuk mudik di jalur ini tak mudah terlupakan.

Kini, dengan hadirnya Tol Trans Jawa, jalur Alas Roban memang tak lagi sepadat dulu. Namun, ia tetap menjadi saksi bisu perjalanan panjang dan perjuangan banyak orang. Setiap lekuk dan tikungannya menyimpan cerita dan kenangan yang tak ternilai harganya. Bagi sebagian orang, Alas Roban bukan sekadar jalan, melainkan juga bagian dari identitas dan sejarah perjalanan hidup mereka.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini