Usulan kontroversial dari Wakil Ketua Komisi V DPR-RI, Andi Iwan Darmawan Aras, kembali menghangat. Izin bagi motor gede (moge) melintas jalan tol, yang disebut-sebut sebagai aspirasi kelompok tertentu, kini menjadi perdebatan sengit. Jika wacana ini terealisasi, jalan bebas hambatan yang selama ini didominasi kendaraan roda empat akan "berwarna" oleh deru mesin moge. Namun, pertanyaan besar muncul: apakah ini langkah yang adil dan sesuai aturan?
Sejatinya, bukan kali ini saja wacana moge masuk tol mencuat. Namun, berbagai argumen penolakan selalu menghadang. Salah satu ganjalan utama adalah regulasi. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Jalan jelas mengisyaratkan pengecualian fasilitas bagi pejalan kaki, pesepeda, dan penyandang disabilitas di jalan tol dan jalan bebas hambatan. Penjelasan ini dipertegas dengan fakta bahwa jalan tol dirancang untuk kendaraan roda empat atau lebih, dengan kecepatan rencana minimal 60 km/jam di perkotaan dan 80 km/jam antar kota.
Pengamat transportasi, Djoko Setijowarna, dari MTI Pusat menegaskan bahwa ketentuan ini bukan tanpa alasan. Jalan tol, yang notabene dirancang untuk lalu lintas kendaraan berkecepatan tinggi, akan berpotensi menimbulkan risiko jika dimasuki kendaraan yang tidak sesuai standar, seperti sepeda motor. Perbedaan kecepatan dan perilaku berkendara antara pengendara mobil dan motor menjadi kekhawatiran yang beralasan.
Moge, dengan kemampuan akselerasi dan kecepatan tinggi, memang berbeda dengan sepeda motor biasa. Namun, terlepas dari perbedaan itu, secara klasifikasi tetap saja masuk dalam kategori kendaraan roda dua. Sehingga, secara aturan, seharusnya tidak diperbolehkan melintas di jalan tol.
Meskipun demikian, ada juga celah aturan yang mengizinkan motor melintas di jalan tol, bergantung pada interpretasi dan kebijakan pengelola tol. Namun, aspek keselamatan tetap menjadi prioritas utama. Jangan sampai upaya memberikan "privilege" pada kelompok tertentu justru mengorbankan keselamatan pengguna jalan lainnya.
Jika izin moge masuk tol dikabulkan, dikhawatirkan jalan tol hanya akan menjadi arena bermain bagi kaum berada. Masyarakat kelas menengah ke bawah, yang mayoritas menggunakan sepeda motor sebagai kendaraan sehari-hari, tetap akan terpinggirkan. Artinya, wacana ini berpotensi melanggengkan ketidakadilan akses terhadap fasilitas publik.
Oleh karena itu, sebelum melangkah lebih jauh, pemerintah dan pemangku kepentingan harus benar-benar mempertimbangkan segala aspek. Bukan hanya sekadar mengakomodasi kepentingan kelompok tertentu, tetapi juga mengedepankan keadilan, keselamatan, dan kepatuhan terhadap hukum. Jalan tol adalah fasilitas publik yang seharusnya dinikmati oleh semua golongan, bukan hanya segelintir orang.