Jakarta, [Tanggal Sekarang] – Perdebatan mengenai efektivitas peralihan ke kendaraan listrik dalam mengatasi kemacetan dan polusi kembali mencuat. Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) dalam sebuah diskusi mengungkapkan, meskipun peralihan ke kendaraan listrik merupakan langkah positif, fokus utama pemerintah seharusnya adalah pembenahan sistem transportasi publik.
Pengamat Tata Kota Universitas Trisakti, Nirwono Joga, menyoroti bahwa kampanye kendaraan listrik, meskipun baik, tidak akan banyak mengubah kondisi kemacetan di kota-kota besar. Ia mencontohkan kota-kota seperti London, Stockholm, dan Kopenhagen yang mulai mengalami kemacetan meski didominasi kendaraan listrik. "Kendaraan listrik memang tidak berisik dan berasap, tapi kalau tetap macet, ya sama saja," ujarnya.
Menurut Nirwono, subsidi yang digelontorkan untuk kendaraan listrik lebih tepat dialihkan untuk perbaikan transportasi publik. "Subsidi BBM yang terlalu besar, lebih baik dialihkan untuk membenahi angkutan umum. Sekarang, masyarakat terpaksa menggunakan kendaraan pribadi karena tidak ada alternatif yang memadai," tambahnya.
Ketua MTI, Tory Damantoro, juga senada dengan pandangan tersebut. Ia menegaskan bahwa posisi MTI adalah subsidi seharusnya diberikan kepada angkutan umum. "Kalau industri kendaraan listrik mau dihidupkan, subsidi itu lebih baik dialokasikan untuk kendaraan listrik yang digunakan untuk angkutan umum," kata Tory.
Lebih lanjut, Tory menekankan perlunya rencana besar yang terintegrasi, seperti kawasan transit yang mempermudah masyarakat berpindah moda transportasi. Ia menyebutkan perlunya konektivitas antara stasiun kereta api, terminal bus, hingga bandara, serta jalur khusus pejalan kaki yang nyaman. Dengan demikian, ketergantungan pada kendaraan pribadi dapat ditekan.
Nirwono menambahkan bahwa seharusnya perencanaan kota yang baik dimulai dari sistem transportasinya. "Dalam perkembangan kota di seluruh dunia, transportasi adalah tulang punggung perkembangan kota. Sayangnya, ini tidak terjadi di setiap kota di Indonesia," ungkapnya. Ia mencontohkan Jakarta dan Semarang yang sistem transportasinya baru hadir setelah perkembangan kota yang tidak tertata.
Idealnya, lanjut Nirwono, jalur transportasi publik harus menjadi prioritas utama, baru kemudian pemerintah mendorong perkembangan komersial, pemukiman, dan perkantoran. "Tujuannya adalah agar minimal 60 hingga 80 persen warga dapat menggunakan transportasi umum untuk beraktivitas," pungkasnya.
Diskusi ini memberikan perspektif baru bahwa peralihan ke kendaraan listrik saja tidak cukup untuk mengatasi masalah transportasi di Indonesia. Pembenahan sistem transportasi publik yang terintegrasi dan nyaman menjadi kunci utama untuk mengurangi kemacetan, polusi, dan ketergantungan masyarakat pada kendaraan pribadi. Pemerintah diharapkan dapat segera merumuskan kebijakan yang berpihak pada pengembangan transportasi publik sebagai solusi jangka panjang.