Jakarta – Sepeda motor masih menjadi pilihan utama masyarakat Indonesia dalam mobilitas sehari-hari. Efisiensi dan kepraktisannya, terutama dalam menembus kemacetan, membuat kendaraan roda dua ini sulit tergantikan. Namun, di balik popularitasnya, tersimpan ironi yang menghambat perkembangan kota dan membebani ekonomi masyarakat.
Pengamat tata kota mengungkapkan, popularitas motor justru menjadi penghalang bagi masyarakat untuk beralih ke transportasi publik. “Motor itu paling efisien dan hebat untuk mobilitas. Dari rumah langsung ke kantor atau sekolah," ujarnya. Perhitungan biaya pun menjadi pertimbangan penting. "Biaya cicilan motor terasa lebih murah dibanding naik transportasi publik.”
Data penjualan motor pada 2024 pun menunjukkan tren positif, dengan total 6.333.310 unit terjual, meningkat dari tahun sebelumnya. Angka ini menandakan ketergantungan masyarakat pada motor masih tinggi.
Di sisi lain, kemacetan kian parah, terutama di kota-kota besar. Biaya transportasi yang membengkak akibat kemacetan memangkas 30-40% pendapatan warga, mengurangi produktivitas. Data lain menunjukkan bahwa anggaran logistik yang sangat besar, sekitar Rp 1.400 triliun, hanya mampu mendorong pertumbuhan ekonomi sekitar 5%. Padahal, target pemerintah adalah 8%.
Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) menegaskan bahwa paradigma lama dalam pengelolaan logistik dan transportasi perlu diubah. "Seharusnya antara struktur ruang dan struktur pergerakan itu sinergi. Kita harus menata sistem perkotaan, mode angkutan apa yang paling efisien untuk melayani," ujarnya.
Pemerintah, kata pakar, perlu memprioritaskan pengembangan transportasi publik yang terintegrasi dan nyaman. Kawasan transit dengan fasilitas transportasi umum seperti stasiun, terminal, dan jalur pejalan kaki yang aman harus diprioritaskan.
"Dalam perkembangan kota di seluruh dunia, transportasi adalah tulang punggung. Justru perkembangan kota itu ada di transportasi. Tapi ini tidak terjadi di Indonesia,” kata seorang pengamat.
Idealnya, jalur transportasi publik dibangun terlebih dahulu, baru kemudian diikuti oleh pembangunan komersial, pemukiman, dan perkantoran. Dengan cara ini, masyarakat akan lebih mudah mengakses transportasi publik dan mengurangi ketergantungan pada kendaraan pribadi.
Target ideal adalah 80% warga menggunakan transportasi umum. Jika 60% saja sudah beralih, itu sudah merupakan kemajuan yang signifikan. Perbaikan transportasi publik bukan hanya soal efisiensi, tetapi juga soal peningkatan kualitas hidup dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Jika tidak, maka efisiensi motor akan terus menjerat, dan kemacetan akan terus menjadi momok di perkotaan.