Jakarta – Penggunaan patwal oleh pejabat negara kembali menjadi sorotan publik. Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) menyerukan pembatasan fasilitas pengawalan, menegaskan bahwa patwal seharusnya hanya diperuntukkan bagi Presiden dan Wakil Presiden. Fenomena ini bukan hanya sekadar masalah lalu lintas, tetapi juga cerminan kesenjangan sosial yang semakin menganga di tengah masyarakat.
Ketua Umum MTI, Tory Damantoro, dengan tegas menyampaikan bahwa praktik pengawalan yang meluas di luar kedua jabatan tertinggi negara tersebut perlu dihentikan. "Voorijder sudah jelas untuk Presiden dan Wakil Presiden, selain Presiden dan Wakil Presiden harus dihilangkan," ujarnya. Pernyataan ini menggarisbawahi bahwa fasilitas patwal yang seharusnya menjadi pengecualian, kini justru menjadi kelaziman yang berlebihan.
Kritik ini bukan tanpa alasan. Banyak pihak menilai, penyalahgunaan patwal oleh pejabat telah menciptakan ketidakadilan di jalan raya. Di saat masyarakat umum berjibaku dengan kemacetan, para pejabat dengan mudahnya melenggang tanpa hambatan. Fenomena ini bukan hanya menimbulkan rasa iri, tetapi juga merusak filosofi hidup bersama di perkotaan.
"Filosofi hidup di kota itu hidup bersama, karena orangnya banyak. Kalau semua minta diprioritaskan akan terjadi kecemburuan sosial," kata Tory. Kekhawatiran ini bukan isapan jempol belaka. Jika praktik ini terus dibiarkan, bukan tidak mungkin akan memicu kemarahan publik. Tory bahkan mengingatkan potensi terjadinya gejolak sosial yang bisa berujung pada situasi yang tidak diinginkan, dengan mencontohkan revolusi Prancis.
Peraturan terkait patwal sendiri sebenarnya sudah cukup jelas. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan telah mengatur pihak-pihak yang berhak mendapatkan prioritas di jalan. Selain kendaraan darurat seperti pemadam kebakaran dan ambulans, prioritas juga diberikan kepada pimpinan lembaga negara, tamu negara, dan iring-iringan jenazah. Namun, frasa "konvoi dan/atau Kendaraan untuk kepentingan tertentu menurut pertimbangan petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia" dalam pasal tersebut kerap menjadi celah untuk penyalahgunaan.
Ironisnya, Peraturan Kepala Kepolisian (Perkap) Nomor 4 tahun 2017 justru memperjelas bahwa pengawalan pejabat hanya diperuntukkan bagi Presiden dan Wakil Presiden serta Menteri atau pejabat setingkat menteri. Namun, kenyataan di lapangan berbicara lain. Banyak pejabat di luar kategori tersebut yang masih menggunakan patwal, seolah-olah mereka memiliki hak istimewa di atas warga negara lainnya.
Lantas, bagaimana seharusnya kita menyikapi fenomena ini? Sudah saatnya para pejabat negara mulai berbenah diri. Alih-alih bersembunyi di balik kemewahan patwal, mereka perlu menunjukkan sikap rendah hati dan kesediaan untuk merasakan denyut nadi masyarakat. Penggunaan transportasi umum, misalnya, bisa menjadi langkah awal yang baik untuk menunjukkan bahwa mereka adalah bagian dari masyarakat, bukan kelompok yang eksklusif.
Dengan membatasi penggunaan patwal dan lebih memilih hidup berdampingan dengan masyarakat, para pejabat tidak hanya mengurangi kesenjangan sosial tetapi juga membangun kepercayaan publik. Jangan sampai kemewahan di jalan raya menjadi pemicu gejolak yang merugikan semua pihak.