Jakarta – Pasar otomotif Indonesia tengah mengalami pergeseran menarik. Penjualan mobil bekas kini justru lebih menggeliat dibandingkan mobil baru. Fenomena ini bukan sekadar tren sesaat, melainkan cerminan dari dinamika ekonomi dan perubahan daya beli masyarakat kelas menengah.

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkap fakta mencengangkan: dalam lima tahun terakhir, lebih dari 9 juta warga kelas menengah Indonesia harus turun kelas. Ini artinya, proporsi mereka dalam populasi berkurang signifikan, dari 21,45% menjadi hanya 17,13%. Penurunan ini berdampak langsung pada kemampuan mereka untuk membeli mobil baru.

Ekonom Raden Pardede menyoroti penurunan daya beli kelas menengah sebagai faktor utama. "Kemampuan kelas menengah kita, kalau kita lihat dari 2019-2024, jumlahnya berkurang," ujarnya. Kondisi ini diperparah dengan ketidakseimbangan antara kenaikan harga mobil baru dan peningkatan pendapatan masyarakat.

Sekretaris Utama Gaikindo, Kukuh Kumara, menjelaskan bahwa harga mobil baru naik rata-rata 7,5% per tahun. Sementara itu, pendapatan kelas menengah hanya tumbuh sebatas inflasi, sekitar 3%. "Jadi kondisinya makin lama, kayak mulut buaya, nganga terus. Nggak mampu beli mobil," jelasnya.

Akibatnya, mobil bekas menjadi alternatif pilihan yang lebih masuk akal. Selain harga yang lebih terjangkau, transparansi penjual mobil bekas juga meningkat. Calon pembeli kini lebih mudah mengetahui riwayat kendaraan, seperti bekas tabrakan, banjir, atau kerusakan lainnya. Hal ini meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap mobil bekas.

"Kelas menengah beli mobil, belakangan mereka belinya adalah mobil bekas. Jadi mobil bekas sekarang itu laku. Karena lebih transparan, cacatnya di mana, bekas baret di mana, kena banjir atau tidak. Ada semua," kata Kukuh.

Diperkirakan pasar mobil bekas di Indonesia mencapai 1,8 juta unit per tahun, sebuah angka yang sangat signifikan. Namun, industri otomotif juga dihadapkan pada tantangan baru, terutama terkait kebijakan pajak. Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% akan berimbas pada harga mobil baru. Meskipun mayoritas pembelian dilakukan secara kredit, dampak kenaikan pajak tetap menjadi perhatian.

Selain itu, opsen pajak juga menjadi faktor yang memberatkan, meskipun beberapa daerah memberikan relaksasi. Dengan semua dinamika ini, Gaikindo memperkirakan penjualan mobil di Indonesia tahun depan belum akan menembus angka satu juta unit. "Kita kalau mau optimis di 900-an (ribuan)," ungkap Kukuh.

Pergeseran preferensi konsumen ke mobil bekas ini menjadi sinyal bagi para pelaku industri otomotif untuk lebih adaptif dengan kondisi pasar. Keterjangkauan dan transparansi menjadi kunci dalam memenangkan hati konsumen, terutama di kalangan kelas menengah yang semakin selektif dalam berbelanja.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini