Jakarta – Nama Proton Saga mungkin tak asing bagi sebagian masyarakat Indonesia, terutama mereka yang hidup di era 90-an. Sedan kompak ini pernah wara-wiri sebagai armada taksi, khususnya di bawah bendera Taksi Citra. Namun, di balik perannya sebagai ‘kuda beban’ jalanan, Saga menyimpan cerita menarik tentang ambisi otomotif sebuah bangsa dan dinamika politik-ekonomi di Indonesia.

Proton, yang merupakan singkatan dari Perusahaan Otomotif Nasional, lahir pada 1983 atas prakarsa Perdana Menteri Malaysia saat itu, Mahathir Mohamad. Impiannya sederhana, yaitu menghadirkan mobil nasional yang bisa dibanggakan. Namun, tanpa teknologi dan sumber daya yang memadai, Proton memulai langkahnya dengan rebadge. Saga generasi pertama lahir dari platform Mitsubishi Lancer Fiore, diberi sentuhan desain khas Proton, dan menjadi awal mula petualangan mereka.

Nama ‘Saga’ sendiri memiliki makna filosofis. Terinspirasi dari biji kecil yang tumbuh subur di Asia Tenggara, Saga melambangkan sesuatu yang sederhana namun bernilai tinggi. Ia berhasil merebut hati masyarakat Malaysia, membuka jalan bagi ekspansi ke pasar internasional, termasuk Indonesia.

Pada pertengahan 90-an, Proton Saga tiba di Indonesia, saat pasar otomotif Tanah Air dikuasai merek-merek Jepang. Ia hadir sebagai alternatif sedan yang lebih terjangkau, dan momen ini menjadi titik balik sejarahnya di Indonesia.

Proton Saga masuk ke Indonesia berkat Keppres 74/1995 yang memberikan "pembebasan pajak" untuk impor komponen kendaraan sedan yang digunakan sebagai taksi. Kebijakan ini menguntungkan Taksi Citra, perusahaan taksi yang dimiliki oleh putri Presiden Soeharto, Siti Hardijanti Rukmana. Konon, kebijakan ini juga dikaitkan dengan pembelian pesawat CN-235 buatan IPTN oleh pemerintah Malaysia, sebagai bentuk "balas jasa".

Proton Saga yang beredar di Indonesia adalah varian Iswara yang diproduksi antara tahun 1992 dan 2003. Meski basisnya Mitsubishi Lancer, tampilan Saga dibuat berbeda, terutama pada fascia depan, gril, lampu, dan bumper. Perubahan ini memberikan identitas tersendiri bagi Saga. Dimensinya cukup ringkas, dengan interior yang lapang untuk ukuran sedan kompak.

Di balik kapnya, Saga Iswara dibekali mesin 4G33 1.439 cc yang identik dengan Mitsubishi Lancer Fiore, dan bahkan mirip dengan mesin Mitsubishi Colt L300 keluaran awal. Mesin ini menghasilkan tenaga 80 Hp dan torsi 122 Nm, dipadukan dengan transmisi manual 5 percepatan. Fitur-fiturnya masih sangat sederhana, seperti jendela engkol, velg kaleng, dan jok kain, khas mobil taksi era tersebut.

Menariknya, meski berstatus mantan taksi, harga bekas Proton Saga Iswara terbilang stabil. Beberapa unit yang masih layak pakai masih dihargai sekitar Rp 35-37 juta. Faktor ketersediaan suku cadang yang melimpah karena platformnya yang berbasis Mitsubishi, membuat mobil ini masih diminati. Reliabilitasnya pun cukup baik, membuatnya tangguh di berbagai kondisi jalan.

Namun, Proton Saga tidak pernah benar-benar menjadi pilihan mobil pribadi di Indonesia. Sebagian besar unit yang beredar adalah bekas taksi Citra. Kehadirannya di pasar Indonesia pun mendapat sambutan yang beragam. Sebagian konsumen menghargai harganya yang terjangkau dan efisiensi bahan bakarnya, namun banyak pula yang meragukan kualitasnya dibandingkan merek Jepang yang lebih mapan.

Terlepas dari pro dan kontra yang ada, Proton Saga tetaplah bagian dari sejarah otomotif Indonesia. Ia menjadi saksi bisu dinamika pasar mobil era 90-an, dan juga refleksi dari ambisi sebuah negara untuk menghadirkan mobil kebanggaan. Bagi sebagian orang, Saga mungkin hanya sebuah mobil bekas taksi, namun bagi sebagian lain, ia adalah simbol kemajuan industri otomotif Malaysia, dan kenangan tersendiri akan masa lalu.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini