STOCKHOLM – Di tengah perdebatan soal fasilitas negara untuk pejabat, Swedia hadir dengan contoh yang kontras. Para politisi di negeri Skandinavia ini justru memilih hidup sederhana, tanpa mobil dinas mewah dan pengawalan ketat. Mereka lebih sering terlihat naik bus atau kereta, berbaur dengan masyarakat yang mereka wakili.

Bagaimana mungkin? Ternyata, budaya egaliter sudah mendarah daging di Swedia. Bagi mereka, pejabat negara bukanlah sosok istimewa yang harus dilayani bak raja. Anggota parlemen, bahkan para menteri, merasa cukup menggunakan transportasi publik untuk kegiatan sehari-hari. Jika ada yang nekat naik taksi menggunakan uang negara, siap-siap menjadi sorotan media.

Hanya Perdana Menteri Swedia yang mendapatkan fasilitas mobil dinas dari pasukan keamanan. Itupun bukan untuk gaya-gayaan, melainkan demi keamanan. "Kami ini tak berbeda dengan warga kebanyakan," ujar Per-Arne Hakansson, anggota parlemen Swedia, menegaskan filosofi kesetaraan tersebut.

Menurut Hakansson, tugas utama mereka adalah mewakili rakyat. Maka, tak pantas jika mereka bergelimang fasilitas dan gaji tinggi. "Yang membuat kami istimewa adalah kesempatan untuk ikut menentukan kebijakan negara," tambahnya.

Parlemen Swedia sendiri hanya memiliki tiga unit mobil dinas Volvo S80. Kendaraan ini diperuntukkan bagi ketua dan tiga wakilnya, dan hanya boleh digunakan untuk tugas-tugas parlemen. Tidak ada cerita mobil dinas dipakai untuk antar-jemput anggota parlemen dari kantor ke rumah. “Kami bukan perusahaan taksi,” tegas seorang pejabat parlemen.

Perbandingan ini tentu ironis dengan kondisi di Indonesia. Di sini, anggota DPR RI bahkan memiliki plat nomor khusus yang membedakan mereka dari masyarakat sipil biasa. Peraturan Sekretaris Jenderal DPR No. 4 Tahun 2021 mengatur detail tentang penerbitan dan penggunaan plat nomor khusus ini.

Plat nomor anggota dewan dilengkapi logo ‘Dewan Perwakilan Rakyat’ dan kombinasi angka khusus. Selain itu, tidak ada keterangan masa berlaku pajak pada plat nomor tersebut, berbeda dengan kendaraan masyarakat sipil.

Perbedaan yang mencolok antara Swedia dan Indonesia ini memicu pertanyaan: apakah fasilitas yang berlebihan bagi pejabat negara memang dibutuhkan? Atau, justru menghambat terciptanya hubungan yang lebih dekat dan setara antara wakil rakyat dengan rakyat yang mereka wakili?

Mungkin sudah saatnya kita menengok kembali ke Swedia, dan belajar dari kesederhanaan dan rasa tanggung jawab para politisinya. Mungkin sudah saatnya kita bertanya, apakah mobil dinas dan fasilitas mewah adalah prioritas atau justru pengalihan dari tugas utama seorang pejabat negara?

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini