Jakarta – Polemik potongan biaya aplikasi yang dialami pengemudi ojek online (ojol) kembali mencuat. Grab Indonesia, salah satu perusahaan aplikator transportasi terbesar, membantah tudingan telah melakukan pemotongan hingga 30% dari pendapatan mitra pengemudi. Mereka menegaskan, besaran potongan yang diterapkan telah sesuai dengan regulasi yang berlaku.

Chief of Public Affairs Grab Indonesia, Tirza Munusamy, menyatakan bahwa biaya layanan yang dikenakan kepada mitra ojol sepenuhnya mengikuti Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 1001 Tahun 2022. "Besaran biaya layanan atau biaya sewa aplikasi yang ditetapkan oleh Grab Indonesia telah sesuai dengan regulasi yang berlaku," tegas Tirza dalam keterangan resminya, Kamis (16/1).

Tirza menjelaskan bahwa biaya layanan ini merupakan bentuk bagi hasil antara perusahaan dengan mitra pengemudi. Ia juga mengklaim bahwa sebagian dari biaya tersebut dialokasikan kembali untuk mendukung operasional dan pengembangan mitra, seperti insentif, beasiswa, dan asuransi kecelakaan. "Adapun sebagian dari biaya layanan ini dikembalikan untuk menunjang kebutuhan dan membantu pengembangan kapasitas mitra pengemudi melalui berbagai inisiatif," imbuhnya.

Pernyataan Grab ini muncul sebagai tanggapan atas keluhan Asosiasi Ojek Online Garda Indonesia. Ketua Umum Garda Indonesia, Raden Igun Wicaksono, sebelumnya melayangkan protes keras atas potongan aplikasi yang menurutnya mencapai 30%, padahal aturan membatasi maksimal 20%. "Berulang kali kami protes keras atas potongan biaya aplikasi yang sudah sangat tidak manusiawi dan melanggar regulasi yang tercantum dalam Kepmenhub KP nomor 1001 tahun 2022, di mana potongan aplikasi maksimal 20 persen," kata Igun.

Igun juga menyoroti kurangnya tindakan tegas dari regulator, yakni Kementerian Perhubungan, terhadap perusahaan aplikator yang diduga melanggar aturan. "Namun, fakta yang terjadi di lapangan, potongan aplikasi yang diterapkan dua perusahaan besar melebihi 20 persen, bahkan hingga lebih dari 30 persen. Namun, tidak ada tindak lanjut sanksi dari regulator atau dari Kementerian Perhubungan," tambahnya.

Kondisi ini, menurut Igun, memaksa pengemudi ojol untuk bekerja lebih keras dan menghabiskan lebih banyak waktu di jalan demi mendapatkan penghasilan yang mencukupi. "Akibat potongan yang besar, rekan-rekan pengemudi ojol memforsir jam kerja dan waktu istirahatnya dipakai untuk bekerja lebih keras agar pendapatannya bisa memenuhi nafkah harian," ujarnya.

Polemik ini kembali menyoroti persoalan transparansi dan implementasi regulasi terkait tarif dan pembagian pendapatan antara perusahaan aplikator dengan mitra pengemudi. Diperlukan pengawasan yang lebih ketat dari pemerintah agar aturan yang telah dibuat dapat ditegakkan dengan baik, sehingga dapat tercipta ekosistem transportasi online yang adil dan berkeadilan bagi semua pihak.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini