Gelombang nostalgia motor 2-tak kembali menerjang, dan salah satu yang paling mencuri perhatian adalah Suzuki Satria Hiu. Bukan tanpa alasan, motor bebek yang sempat merajai jalanan di awal 2000-an ini punya daya tarik yang kuat, terutama bagi para penggemar kecepatan dan aroma khas mesin 2-tak.
Satria Hiu, atau yang juga dikenal dengan nama Suzuki RGV120, RGX120, atau Suzuki Sprinter di beberapa negara, memang bukan bebek biasa. Ia hadir dengan aura sport yang kental, mesin tegak yang gagah, sasis twinspar yang kokoh, dan suspensi monosok yang saat itu tergolong revolusioner di kelasnya. Saat kompetitor masih setia dengan dual shock, Satria Hiu sudah melangkah lebih maju.
Generasi terakhir Satria 120R ini hadir pada tahun 2003, mengakhiri era produksi lokal dan beralih ke impor dari Malaysia. Sayangnya, masa edarnya cukup singkat, hanya sampai 2005, karena terbentur regulasi emisi yang semakin ketat. Namun, di situlah nilai dan daya tariknya semakin meningkat, hingga kini menjadi incaran para kolektor dan penghobi motor 2-tak.
Lebih dari Sekadar Bebek Biasa
Satria Hiu adalah versi bore up dari Suzuki RG Sport 110 yang beredar di Malaysia. Suzuki melakukan sejumlah peningkatan pada mesin, termasuk diameter dan langkah silinder, diameter venturi karburator, rasio kompresi, hingga power dan torsi maksimum. Hasilnya? Bebek sport yang tak hanya kencang, tapi juga responsif dan lincah.
Rangka SCAF (Suzuki Computerized Analyzed Frame) menjadi salah satu keunggulan lain. Rangka ini memberikan jaminan kestabilan saat dipacu dalam kecepatan tinggi. Jauh sebelum era rangka deltabox Yamaha atau rangka teralis Honda, Suzuki sudah menciptakan inovasi ini.
Dengan bobot hanya 101 kg dan mesin 120 cc yang bertenaga 13,5 PS, Satria Hiu mampu melesat hingga 130 km/jam. Mesin tegak yang menjadi ciri khasnya juga memberi keunggulan performa dibanding mesin tidur yang umum digunakan pada motor bebek lain saat itu. Tak heran, Satria Hiu sempat merajai ajang balap road race nasional, ditunggangi pebalap-pebalap top seperti Hendriansyah dan M. Fadli.
Sistem pendinginan Jet Cooled juga turut berkontribusi dalam menjaga performa mesin tetap optimal. Desain yang sporty, ramping, dan luwes, juga menjadi daya pikat tersendiri. Satria Hiu juga hadir dengan takometer, fitur yang jarang ditemukan pada motor bebek di era tersebut.
Bukan Tanpa Cela: Tantangan Merawat Si Hiu
Namun, di balik segala kelebihannya, Satria Hiu juga punya beberapa kelemahan yang perlu diperhatikan. Yang paling utama adalah konsumsi bahan bakar yang boros, tipikal motor 2-tak. Beberapa pengujian mencatat rata-rata 1 liter bensin hanya cukup untuk 25 km.
Perawatan oli samping juga menjadi hal krusial. Jangan sampai kehabisan atau salah takaran. Oli samping berfungsi melumasi piston, setang seher, dan laher kruk as. Kekurangan oli samping dapat menyebabkan overheat dan seher macet, sementara kelebihan justru membuat motor mbrebet dan berasap.
Sistem pengapian, terutama CDI dan koil, juga menjadi area yang perlu diwaspadai. Koil yang tiba-tiba mati bisa berakibat fatal pada piston dan boring. Selain itu, karat juga menjadi musuh utama, terutama pada bagian rangka bawah dekat bosh swing arm yang sering terlewat saat mencuci. Bosh swing arm juga rentan oblak seiring usia.
Kesimpulan: Layakkah Satria Hiu untuk Dipelihara?
Satria Hiu memang bukan motor yang sempurna. Ia punya kelebihan dan kekurangan yang perlu dipertimbangkan. Namun, bagi mereka yang mencari sensasi berkendara bebek 2-tak dengan performa tinggi dan sejarah yang kuat, Satria Hiu tetaplah pilihan yang sangat menggoda.
Kuncinya ada pada perawatan yang telaten dan pemahaman yang baik tentang karakteristik motor 2-tak. Jika Anda siap dengan tantangannya, maka Anda akan mendapatkan pengalaman berkendara yang tak terlupakan dengan si "hiu" jalanan ini.