Kota Batu, Jawa Timur – Kecelakaan tragis kembali menimpa armada bus pariwisata, kali ini di Kota Batu, Jawa Timur. Bus Sakhindra Trans bernomor polisi DK 7949 GB diduga mengalami rem blong, menghantam belasan kendaraan lain dan merenggut nyawa empat orang, serta melukai 10 lainnya. Insiden yang terjadi pada Rabu (8/1/2025) malam ini, sekitar pukul 19.15 WIB, memicu kembali perdebatan sengit mengenai standar keselamatan transportasi di Indonesia.

Menurut keterangan Kapolres Batu, AKBP Andi Yudha Pranata, para korban meninggal terdiri dari seorang ibu dan anak berusia 20 bulan asal Jember, serta dua warga Kota Batu. "Saat ini, prioritas utama kami adalah penanganan korban," ujarnya. Bus tersebut mengangkut rombongan yang terdiri dari 39 pelajar, tiga guru pendamping, dua sopir, dan dua kernet. Seluruh rombongan selamat, namun sebagian masih mengalami syok.

Kecelakaan ini bermula ketika bus melaju dari Jalan Sultan Agung menuju Jalan Imam Bonjol. Diduga kuat mengalami masalah teknis, pengemudi berusaha mengarahkan bus ke trotoar sebagai upaya pengereman, namun gagal. Akibatnya, bus terus meluncur hingga akhirnya menabrak pohon di Jalan Pattimura. Dampak tabrakan beruntun ini sangat dahsyat, melibatkan 10 sepeda motor dan 6 mobil.

Tragedi ini kembali menyoroti masalah serius dalam industri transportasi kita. Pengamat transportasi Djoko Setijowarno mengungkapkan keprihatinannya mengenai minimnya perhatian pemerintah terhadap isu keselamatan. "Keselamatan belum menjadi prioritas negara," tegasnya.

Menurut Djoko, ada tiga masalah fundamental yang belum tertangani. Pertama, kewajiban perawatan rutin safety item, terutama sistem rem, yang seharusnya di-overhaul secara berkala seperti moda transportasi lain. Kedua, tidak adanya aturan jelas mengenai jam kerja dan istirahat pengemudi, yang berbeda jauh dengan standar pada profesi seperti masinis atau pilot. Ketiga, tidak adanya standar kesehatan mental dan fisik bagi pengemudi.

Komisi Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) juga mengidentifikasi adanya penurunan jumlah pengemudi bus dan truk, yang menyebabkan rasio jumlah pengemudi dengan jumlah kendaraan yang beroperasi menjadi tidak seimbang. Situasi ini memaksa pengemudi untuk saling menggantikan, padahal setiap jenis kendaraan membutuhkan keahlian yang berbeda.

Selain itu, KNKT menyoroti lemahnya mekanisme penerbitan SIM B1/B2 dan pelatihan defensive driving. Hal ini menyebabkan pengemudi kurang cakap dalam mengoperasikan kendaraan, terutama dalam memanfaatkan teknologi yang ada pada bus dan truk, serta mendeteksi dini masalah pada kendaraan.

Djoko menambahkan, bahwa kondisi kerja pengemudi bus dan truk di Indonesia sangat memprihatinkan. "Tidak ada regulasi yang melindungi mereka. Waktu kerja, waktu istirahat, waktu libur, dan tempat istirahat sangat buruk," ujarnya. Kondisi ini berpotensi menimbulkan kelelahan dan microsleep, yang merupakan salah satu penyebab utama kecelakaan.

Berdasarkan data KNKT, 84% kecelakaan disebabkan oleh kegagalan sistem pengereman dan kelelahan pengemudi. Kondisi pengemudi yang tidak siap dan tidak menguasai kendaraan, serta kondisi kendaraan yang tidak prima menjadi faktor penyebab utama kecelakaan.

Tragedi di Batu ini menjadi pengingat yang menyakitkan betapa pentingnya perhatian serius terhadap keselamatan transportasi. Pemerintah, operator transportasi, dan semua pihak terkait harus segera mengambil langkah konkret untuk mencegah terulangnya kejadian serupa. Regulasi yang tegas, pengawasan yang ketat, dan peningkatan kualitas pengemudi menjadi kunci untuk mewujudkan transportasi yang aman dan terpercaya. Jangan sampai ada lagi nyawa yang melayang sia-sia akibat kelalaian dan ketidakpedulian.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini