JAKARTA – Kemacetan dan tekanan waktu seringkali menjadi pemicu utama road rage, fenomena kekerasan di jalan yang makin sering terjadi. Insiden yang melibatkan emosi meledak, baik secara verbal maupun fisik, bukan lagi hal asing di jalanan Indonesia. Lantas, bagaimana cara menghindari eskalasi amarah di balik kemudi?
Menurut praktisi keselamatan berkendara, kunci utama meredam road rage adalah dengan manajemen waktu yang baik. Tekanan waktu, terutama saat terjebak macet, dapat memicu emosi dan mengubah pengemudi menjadi lebih agresif. Kondisi ini diperparah dengan perilaku pengguna jalan lain yang juga bisa memancing amarah.
"Seringkali, road rage bukan semata-mata soal perilaku buruk orang lain, tetapi juga karena kita sendiri yang terburu-buru," ungkap pengamat transportasi, Budi Santoso, dalam wawancara terpisah. "Ketika kita merasa dikejar waktu, sedikit saja gangguan di jalan bisa langsung memicu emosi."
Budi menekankan, berangkat lebih awal adalah strategi sederhana namun efektif. Dengan memiliki waktu lebih longgar, pengemudi akan lebih sabar dan tidak mudah terpancing oleh gangguan di jalan.
"Bayangkan jika kita punya waktu satu jam lebih banyak sebelum jam janjian. Mau ada yang menyalip atau memotong jalan, kita akan lebih tenang karena tidak perlu terburu-buru," jelasnya.
Selain manajemen waktu, penting juga untuk mengubah pola pikir saat berkendara. Daripada fokus pada "menang" di jalanan dengan mendahului atau membalas perilaku agresif, lebih baik mengutamakan keselamatan diri dan orang lain.
"Berkendara bukan soal siapa yang paling cepat atau paling berani, tetapi bagaimana kita sampai tujuan dengan selamat," tambah Budi. "Jika semua pengguna jalan memiliki kesadaran ini, potensi road rage pasti bisa ditekan."
Dengan demikian, upaya meredam road rage dimulai dari diri sendiri. Perencanaan waktu yang baik dan pola pikir yang mengutamakan keselamatan adalah kunci untuk menciptakan suasana berkendara yang lebih tenang dan aman bagi semua.
