Jakarta – Kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% mulai 2025 memang jadi sorotan, terutama bagi industri otomotif. Pasalnya, kebijakan ini akan menggerus daya beli masyarakat terhadap kendaraan, khususnya mobil yang tergolong barang mewah dan dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM). Namun, para pelaku industri justru lebih mencemaskan dampak dari kebijakan lain yang mulai berlaku hari ini, yakni kenaikan opsen pajak kendaraan bermotor (PKB) dan bea balik nama kendaraan bermotor (BBNKB).

Menteri Keuangan Sri Mulyani telah mengumumkan bahwa PPN 12% akan berlaku bagi barang dan jasa tertentu yang tergolong mewah, termasuk kendaraan bermotor yang telah dikenakan PPnBM. Kebijakan ini, yang mulai berlaku 1 Januari 2025, seolah menjadi pukulan telak bagi pasar mobil di tanah air. Hampir semua mobil di Indonesia memang masuk dalam kategori barang mewah yang dikenakan PPnBM, sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan No. 141/PMK.010/2021.

Meskipun demikian, Sekretaris Umum Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), Kukuh Kumara, mengungkapkan bahwa kenaikan PPN 12% bukanlah ancaman terbesar bagi industri otomotif saat ini. Justru, kenaikan opsen PKB dan BBNKB yang mulai berlaku 5 Januari 2025, dinilai lebih mengkhawatirkan.

"Kenaikan opsen itu cukup tinggi. Beberapa daerah sudah punya pengalaman, dengan menaikkan BBNKB dan PKB itu berdampak pada penurunan penjualan kendaraan bermotor," ujar Kukuh. Ia menambahkan, bahwa Gaikindo telah menyampaikan pemikiran mereka mengenai dampak kenaikan opsen ini kepada pemerintah.

Kekhawatiran Gaikindo bukan tanpa alasan. Pendapatan asli daerah (PAD) dari sektor kendaraan bermotor di banyak provinsi berkontribusi cukup signifikan, bahkan bisa mencapai 40-80%. Jika PKB dan BBNKB dinaikkan melalui opsen, dikhawatirkan penjualan kendaraan akan menurun, yang pada akhirnya justru akan mengurangi pendapatan daerah itu sendiri.

"Kalau ini (PKB dan BBNKB) dinaikkan (dengan adanya opsen), itu kemudian penjualan (kendaraan) yang menurun, artinya Pemda akan kekurangan atau mengalami penurunan revenue," lanjut Kukuh.

Sementara itu, dampak PPN 12% dinilai tidak akan terlalu signifikan karena sebagian besar masyarakat membeli kendaraan secara kredit. Meskipun demikian, ini tetap menjadi tantangan tambahan bagi industri yang sedang berupaya memulihkan diri pasca pandemi.

Pemerintah perlu melakukan kajian mendalam terkait dampak kenaikan pajak ini terhadap daya beli masyarakat dan keberlangsungan industri otomotif. Langkah-langkah mitigasi juga perlu disiapkan agar kebijakan ini tidak memberikan dampak negatif yang lebih besar bagi perekonomian secara keseluruhan.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini