LONDON – Polisi tidur, yang seharusnya menjadi solusi untuk memperlambat laju kendaraan, justru menjadi momok bagi para pengemudi, terutama di Inggris. Survei terbaru mengungkap fakta mencengangkan: satu dari lima pengemudi mengalami kerusakan mobil akibat polisi tidur yang terlalu tinggi atau tidak sesuai standar.

Masalah ini bukan sekadar gangguan kecil. Survei yang dilakukan Confused.com terhadap 2.000 responden menunjukkan bahwa 22% di antaranya telah melaporkan kerusakan kendaraan akibat polisi tidur. Biaya perbaikan pun tidak sedikit, rata-rata mencapai £141 atau sekitar Rp 2,7 juta per kejadian. Kerusakan paling sering terjadi pada ban (48%) dan suspensi (33%). Ironisnya, 41% pengemudi merasa bahwa polisi tidur justru menjadi penyebab utama kerusakan mobil mereka.

Kekecewaan publik semakin dalam. Sebanyak 17% responden bingung dengan kebijakan pemerintah yang terus membangun polisi tidur sebagai solusi lalu lintas. Bahkan, 27% responden menilai polisi tidur tidak efektif mengurangi kecepatan kendaraan. Banyak pengemudi yang hanya mengurangi kecepatan sesaat sebelum atau setelah melewati polisi tidur, sementara 19% lainnya tidak memperlambat laju sama sekali. Ini menimbulkan pertanyaan besar: Apakah polisi tidur benar-benar efektif?

Selain itu, 28% responden mengeluhkan kurangnya rambu dan marka jalan yang jelas untuk menandai keberadaan polisi tidur. Mereka merasa seringkali tidak menyadari keberadaan polisi tidur sehingga tidak sempat mengurangi kecepatan, dan akibatnya mobil menjadi rusak. Sebaliknya, 27% responden justru menilai guncangan akibat polisi tidur malah mengganggu arus lalu lintas, sementara 23% memilih untuk menghindari jalan yang memiliki banyak polisi tidur. Mayoritas, 58% responden, sepakat bahwa polisi tidur seharusnya dibuat lebih rendah.

Dampak finansial dari kerusakan akibat polisi tidur pun tak main-main. Pemerintah harus mengeluarkan ganti rugi sebesar £35,000 atau sekitar Rp 681 juta dalam periode 2015-2017. London menjadi daerah dengan ganti rugi terbesar, mencapai £ 15.717 (Rp 305,8 juta). Di kota tersebut, tercatat 8.516 polisi tidur yang berpotensi merusak kendaraan.

Meskipun demikian, ada secercah harapan. Sekitar 50% responden mengakui bahwa polisi tidur juga berperan dalam melindungi pejalan kaki. Namun, fakta ini tidak menutupi masalah utama: kualitas dan penempatan polisi tidur yang tidak sesuai standar.

Kondisi ini juga menjadi cermin bagi Indonesia, di mana masyarakat seringkali berinisiatif membuat polisi tidur sendiri tanpa mengikuti aturan. Padahal, Keputusan Menteri Perhubungan nomor 34 tahun 1994 tentang Alat Pengendali dan Pengaman Pemakai Jalan telah mengatur secara rinci tentang penempatan dan pembuatan polisi tidur. Aturan tersebut menyebutkan bahwa polisi tidur hanya boleh ditempatkan di lingkungan perumahan, jalan lokal dengan kelas jalan IIIC, dan pada jalan yang sedang dalam perbaikan. Selain itu, polisi tidur harus melintang tegak lurus dengan jalur lalu lintas dan diberi tanda garis serong berwarna putih.

Kasus di Inggris ini menjadi pengingat bahwa polisi tidur tidak boleh dianggap sebagai solusi tunggal. Perlu ada evaluasi yang komprehensif dan penerapan standar yang ketat untuk memastikan bahwa polisi tidur benar-benar efektif dan tidak malah merugikan pengemudi. Pemerintah juga perlu mempertimbangkan alternatif lain yang lebih efektif untuk menjaga keselamatan berlalu lintas, serta memastikan bahwa ganti rugi atas kerusakan mobil dapat diberikan dengan mudah dan cepat.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini