PURWAKARTA – Romyani (57), seorang sopir bus pariwisata, kembali menjadi sorotan publik setelah bus yang dikemudikannya mengalami kecelakaan di Tol Cipularang KM 80 pada Kamis (26/12) dini hari. Kecelakaan tragis ini merenggut dua nyawa dan menyebabkan puluhan penumpang lainnya luka-luka. Insiden ini memicu pertanyaan besar: mengapa Romyani masih diizinkan mengemudikan bus pariwisata setelah terlibat kecelakaan serupa di Guci, Tegal, pada Mei 2023?
Kecelakaan di Tol Cipularang melibatkan bus PO Qonita Trans yang membawa 64 peziarah asal Tangerang. Bus tersebut menabrak bagian belakang sebuah dump truck. Akibatnya, dua penumpang tewas, 12 luka berat, dan 50 lainnya luka ringan. Setelah sempat melarikan diri, Romyani berhasil diamankan pihak kepolisian dan menjalani pemeriksaan, termasuk tes urin.
Namun, ini bukan kali pertama Romyani terlibat dalam kecelakaan saat bertugas sebagai sopir bus pariwisata. Pada Mei 2023, bus yang dikemudikannya saat berwisata ke Guci, Tegal, juga mengalami kecelakaan. Bus PO Duta Wisata yang saat itu dikemudikan Romyani tiba-tiba meluncur dan masuk jurang saat diparkir di jalan menurun, mengakibatkan satu orang tewas dan puluhan lainnya luka-luka.
Romyani berdalih saat itu dirinya sedang berada di luar bus, mengobrol dengan panitia, dan telah mengaktifkan rem tangan serta mengganjal roda. Namun, bus tiba-tiba meluncur tanpa bisa dikendalikan. Meski sempat ditetapkan sebagai tersangka, penahanan Romyani akhirnya ditangguhkan dengan alasan kooperatif dan adanya penjamin dari pihak keluarga.
Penangguhan penahanan Romyani inilah yang kemudian memungkinkan dirinya kembali beraktivitas sebagai sopir bus. Kondisi ini mengundang keprihatinan dari pengamat transportasi. Djoko Setijowarno berpendapat bahwa seharusnya izin mengemudi (SIM) Romyani dicabut setelah kecelakaan di Guci.
"Mestinya SIM (dia) dicabut," tegas Djoko.
Pernyataan Djoko ini menyoroti lemahnya pengawasan dan penegakan aturan terkait keselamatan transportasi. Seseorang yang telah terbukti terlibat dalam kecelakaan fatal, seharusnya tidak diizinkan kembali mengemudi kendaraan besar yang membawa banyak penumpang. Penangguhan penahanan dengan alasan kooperatif saja tidak cukup untuk menjamin keselamatan publik.
Kasus Romyani ini harus menjadi pelajaran berharga. Diperlukan evaluasi menyeluruh terhadap sistem perizinan pengemudi kendaraan umum, terutama bus pariwisata. Pemerintah dan pihak terkait harus memperketat seleksi dan pengawasan pengemudi, serta memberikan sanksi tegas bagi mereka yang terbukti lalai dan menyebabkan kecelakaan. Keselamatan penumpang harus menjadi prioritas utama, bukan hanya sekedar formalitas administrasi. Kasus ini juga menjadi pengingat pentingnya evaluasi dan investigasi menyeluruh dalam setiap kasus kecelakaan, tidak hanya berhenti pada penetapan tersangka dan penangguhan penahanan.