Jakarta – Penetapan Upah Minimum Sektoral Provinsi (UMSP) oleh beberapa pemerintah daerah, terutama di Jakarta, menuai polemik. Kalangan industri, termasuk PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN), menyatakan keberatan dan mengkhawatirkan dampak kebijakan tersebut terhadap kelangsungan usaha. Mereka menilai, UMSP yang nilainya lebih tinggi dari Upah Minimum Regional (UMR) dapat memicu ketidakstabilan dan berpotensi membuat industri kolaps.

Kebijakan UMSP memang berbeda dengan UMR. UMR ditetapkan berdasarkan wilayah, sementara UMSP dihitung berdasarkan sektor dan subsektor industri. Artinya, dalam satu wilayah yang sama, upah minimum bisa berbeda-beda tergantung pada bidang usaha. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sendiri telah menetapkan UMSP 2025 dengan mengacu pada Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) yang mencakup tiga sektor dan 18 subsektor, dengan nilai minimum mulai dari Rp 5,5 juta. Padahal, jika mengacu pada kenaikan UMR 6,5 persen yang diumumkan pemerintah pusat, upah minimum di Jakarta hanya sekitar Rp 5,3 juta.

"Seharusnya cukup dengan UMR yang sudah diumumkan pemerintah. Sekarang malah ada UMSP. Padahal putusan Mahkamah Konstitusi (MK) juga hanya menyebut sektor-sektor tertentu saja, tidak semua," ujar Bob Azam, Wakil Presiden Direktur TMMIN, saat ditemui di Jakarta.

Bob menilai penetapan UMSP ini memberatkan industri. Kenaikan upah bisa jauh lebih tinggi dari 6,5 persen jika UMSP diterapkan. "Kenaikannya bisa 1, 2, bahkan 3 persen di atas UMR. Ini bisa membuat industri kesulitan," keluhnya.

Kekhawatiran TMMIN bukan tanpa alasan. Jika di Jakarta hanya ada belasan subsektor yang menerapkan UMSP, di daerah lain seperti Bekasi bahkan mencapai 47 subsektor. Bukan tidak mungkin industri otomotif yang menjadi salah satu tulang punggung ekonomi, termasuk dalam daftar tersebut. Hal ini, menurut Bob, bisa memicu gelombang kebangkrutan dan pemutusan hubungan kerja.

"Putusan MK itu kan UMSP berdasarkan karakteristik dan keahlian tertentu. Sekarang ada daerah yang mengajukan sampai 47 sektoral, ini kan tidak masuk akal. Ini industri bisa kolaps kalau dibiarkan," tegasnya.

Pihak TMMIN pun mendesak pemerintah pusat, khususnya Kementerian Ketenagakerjaan, untuk memberikan panduan yang jelas terkait penerapan UMSP agar tidak terjadi kebingungan dan chaos di daerah. Menurut Bob, perbedaan interpretasi dan penerapan UMSP di berbagai daerah dapat menghambat operasional industri dan mengganggu iklim investasi.

"Kami mengimbau Menaker agar membuat guidance supaya diskusi tidak kemana-mana. Kalau daerah chaos, industri kan tidak bisa bekerja," pungkasnya.

Polemik UMSP ini menyoroti adanya perbedaan pandangan antara pemerintah daerah, industri, dan pekerja mengenai sistem pengupahan yang ideal. Di satu sisi, pemerintah daerah ingin melindungi dan meningkatkan kesejahteraan pekerja melalui UMSP. Di sisi lain, industri mengkhawatirkan dampak UMSP terhadap daya saing dan kelangsungan usaha. Kondisi ini memerlukan solusi yang komprehensif dan berkeadilan agar tercipta keseimbangan antara kepentingan pekerja dan dunia usaha.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini