Aksi sejumlah pengendara motor Yamaha RX King yang dihukum mendengarkan raungan knalpot bising mereka sendiri tengah viral di media sosial. Video yang memperlihatkan para pengendara berjongkok sambil "menikmati" suara knalpot mereka yang memekakkan telinga menuai beragam reaksi dari warganet. Meski banyak yang mendukung tindakan tersebut, pertanyaan mendasar tetap muncul: apakah ini bentuk edukasi atau justru kekerasan terselubung?

Fenomena "geber-geber" knalpot memang bukan hal baru. Suara bising yang dihasilkan, terutama dari knalpot modifikasi, seringkali mengganggu kenyamanan dan ketenangan masyarakat. Tidak heran jika banyak yang merasa geram dan mendukung tindakan tegas terhadap para pelanggar. Namun, apakah hukuman dengan "mendengarkan sendiri" suara bising tersebut efektif dan dapat dibenarkan secara hukum?

Pakar transportasi dan hukum, Budiyanto, berpendapat bahwa meskipun tindakan tersebut terkesan keras, tujuannya adalah mendidik masyarakat. Namun, ia menegaskan bahwa negara hukum memiliki mekanisme yang jelas untuk menindak pelanggaran, bukan melalui cara-cara kekerasan. Dukungan publik yang besar mungkin mencerminkan rasa frustrasi masyarakat terhadap polusi suara yang ditimbulkan knalpot bising, namun, bukan berarti pembenaran atas tindakan yang melampaui batas.

Budiyanto mengingatkan bahwa penyelesaian masalah hukum harus dilakukan secara hukum pula. Ia menyarankan agar pihak berwajib menindak pelanggaran knalpot bising dengan mekanisme yang lebih terukur. Salah satu caranya adalah dengan melakukan penyitaan kendaraan, sebagaimana diatur dalam PP No 80 tahun 2012. Setelah melalui proses peradilan, kendaraan dapat dikembalikan kepada pemiliknya dengan syarat knalpot harus diganti dengan yang standar. Bahkan, pengadilan bisa memerintahkan pelanggar untuk membuat pernyataan tidak akan mengulangi perbuatannya.

Lantas, apa yang bisa kita pelajari dari kejadian ini? Pertama, pentingnya kesadaran akan dampak polusi suara bagi lingkungan sekitar. Penggunaan knalpot yang tidak standar bukan hanya melanggar hukum, tetapi juga merugikan kenyamanan bersama. Kedua, perlunya penegakan hukum yang efektif dan terukur, tanpa harus melampaui batas kewenangan yang justru bisa melahirkan masalah baru. Edukasi, sosialisasi, dan penegakan hukum yang tegas adalah kunci untuk menciptakan lingkungan yang tertib dan nyaman bagi semua.

Pada akhirnya, tindakan "menghukum" dengan mendengarkan knalpot bising mungkin efektif dalam jangka pendek, tetapi tidak memberikan solusi jangka panjang. Diperlukan pendekatan yang lebih komprehensif dan terintegrasi untuk mengatasi masalah polusi suara, termasuk penegakan hukum yang lebih tegas, edukasi yang lebih intensif, dan kesadaran diri dari setiap individu. Ini bukan hanya tentang hukuman, tetapi tentang bagaimana kita membangun kesadaran bersama untuk menciptakan lingkungan yang lebih baik.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini